Jumat, 07 Februari 2020

PERBEDA’AN MURSYID DAN ULAMA’ BIASA



PERBEDA’AN MURSYID DAN ULAMA’ BIASA
Ada 2 hal yang tidak di miliki oleh Ulama’ biasa di bandingkan dengan seorang Mursyid.
Pertama, menguasai ilmu zdahir dan bathin.
Kedua, mendapat bimbingan ruhani Rosulullooh Saw.

Perbeda’an Mursyid dan Ulama’ biasa
Banyak yang tidak mengetahuinya
Kita sering mendengar dalam kehidupan masyarakat ada Ulama’, cendikiawan muslim, ustadz, muballigh. Latar belakangnya pun beragam sekali, banyak yang berasal dari mantan artis, pelawak, dan selebritis lainnya. Seseorang mudah di sebut Kiyai jika mempunyai pondok pesantren, seseorang bisa di sebut sebagai ustadz ketika ia mengajar baca tulis Al Qur’an, di sebut Ulama’ jika bisa berceramah atau punya pengikut. Fenomena ini menjadikan sosok Ulama’ menjadi begitu banyak di mata masyarakat.
Dengan kondisi tersebut timbullah persoalan, umat menjadi kehilangan figur siapa Ulama’ sebenarnya yang membawa ajaran Islam yang kaffah. Jika tidak belajar tentang ciri-ciri yang membedakannya maka kita akan salah menyandarkan figur sebagai pembimbing umat kepada jalan Islaam yang kaffah.
Perbeda’an Mursyid dengan Ulama’ lain sangat erat hubungannya dengan pembagian ilmu (zdahir dan bathin).
Pertama, seorang Mursyid menguasai kedua ilmu tersebut (ilmu zdahir adalah fiqih, ilmu bathin adalah tasawuf).
Sementara Ulama’ biasa (bukan Mursyid) hanya menguasai ilmu zahir saja.
Kedua, seorang Mursyid akan mendapatkan bimbingan dari ruhani Nabi Muhammad Shollolloohu 'alaihi wasallam.
Sementara Ulama’ selainnya tidak mendapatkan bimbingan ruhaniah.
Latar belakang pencarian ilmu seorang Mursyid seperti yang di alami oleh para Nabi dan Rosul bukan hanya sebatas tulis baca. Yakni menjalani proses mujahadah (perjuangan) dan riyadhoh (pelatihan ruhani).
Proses pelatihan ruhani di antaranya membersihkan diri, mencari dan butuh kepada Allooh, peduli kepada kebenaran.
Di sebutkan dalam Al Qur’an Nabi Musa As selalu datang ke Gunung Thur di Sinai dalam rangka membersihkan dan mendekatkan diri kepada Allooh.
Rosulullooh Shollolloohu 'alaihi wasallam sebelum di angkat menjadi Nabi selalu mendekatkan diri dan mencari kebenaran di Gua Hiro untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan Allooh. Secara otomatis seorang Mursyid yang menempa diri tersebut akan mendapatkan curahan bimbingan ruhani Rosulullooh Shollolloohu 'alaihi wasallam.
Perjalanan Syekh Akbar Abdul Fattah (Mursyid) mencari ilmu yang kaffah (zdahir dan bathin) begitu berat dan panjang. Setelah mempelajari ilmu-ilmu yang zdahir (bahasa Arab, Fiqih, Tafsir dan lain-lain) di Garut dan Ciamis, Beliau menempa bathinnya.
Kemudian muncullah ke inginan besar untuk berjumpa dengan sosok seorang Mursyid. Karena selama itu Beliau hanya mempelajari ilmu-ilmu zhahir, dan tidak merasa cukup. Beliau ingin menyerap ilmu-ilmu yang bersifat bathin dari seorang Mursyid. Pencarian Beliau berjalan selama 12 tahun.
Beliau memutuskan untuk mencari sosok Mursyid tanpa di batasi waktu. Beliau berprinsip sebelum bertemu ia akan terus mencarinya. Beliau akhirnya membawa istri dan anak-anaknya supaya tidak ada terbetik keinginan pulang menengok keluarga sebelum mendapatkan sosok Mursyid yang di carinya.
Dalam bahasa Sunda, semangat Beliau dedegler[1] (menggebu-gebu). Sebelum mendapatkan ilmu dari Guru Mursyid tidak ingin pulang ke rumah. Tujuan perjalanannya adalah Mekah, di mana pada musim haji muslim dari seluruh penjuru dunia datang berkumpul. Sehingga tidak perlu mencari dari satu kota/negara ke kota/negara lain.
Sekitar tahun 1928 perjalanan ke Mekah masih menggunakan kapal laut. Rutenya mesti melewati Singapura. Pada sa’at transit di Singapura seluruh perbekalan Beliau hilang, sehingga mampirlah di sana dan menetap selama 4 tahun. Beliau tinggal di sana sambil berda’wah sampai di berikan sebuah tanah wakaf yang di bangun masjid.
Sa’at ini situs masjid di Gelang Serai tempat da’wah Beliau sudah tidak ada. Padahal, menurut penuturan tokoh masyarakat yang sudah lanjut usia di sana menceritakan bahwa dahulu di sana terdapat banyak masjid, ada masjid Jawa, Madura, dan lain-lain. Maksudnya masjid yang imam masjidnya berasal dari Jawa atau Madura. Orang-orang yang transit di Sangapura inilah yang mendirikan masjid-masjid. Penguasa Singapura yang berasal dari non muslim pada akhirnya membatasi jumlah masjid tersebut, termasuk masjid di Gelang Serai, tempat da’wah Syekh Akbar pun menjadi hilang. Sa’at ini tinggal sekitar 50 masjid (yang diizinkan) di seluruh Singapura.
Selama tinggal di sana, Ibu Siti Zubaedah membantu suaminya usaha menjahit pakaian. Setelah 4 tahun, barulah datang kabar bahwa di Mekah ada seorang Ulama’ yang bernama Syekh Ahmad Syarif as Sanusi. Maka dengan adanya berita yang pasti tentang adanya seorang Mursyid di Jabal Abu Qubais ini, Syekh Akbar Abdul Fattah mengembalikan istri dan anak-anaknya ke Pulau Jawa. Tujuannya agar proses belajarnya tidak terganggu.
Syekh Akbar Abdul Fattah berangkat ke tanah suci di musim haji bersama beberapa Ulama’ dari Pulau Jawa. Sesampainya di Mekah, Beliau mencari Guru Mursyid yang dicari-cari selama ini, yakni berada di Jabal Abu Qubais. Mekkah, posisinya berada di lembah yang di kelilingi oleh bukit, di antaranya Jabal Abu Qubais.
Kesempatan bertemu dengan Syekh Ahmad Syarif as Sanusi tidak di sia-siakannya. Sikap kesungguhan dalam masa pencarian selama 12 tahun dan menimba ilmu serta berkhidmah selama 4 tahun menghasilkan buah kepercaya’an Gurunya sehingga melimpahkan kepemimpinan Mursyid kepadanya.
Demikianlah gambaran perjalanan kehidupan seorang Mursyid dalam pengembara’an mencari ilmu dan kebenaran (tidak sebatas mencari ilmu semata). Mencurahkan jiwa raga dan Kepedulian kepada Allooh (kebenaran) begitu kuat.
Selain Mursyid (Ulama yang tidak menguasai ke ahlian ilmu zdahir dan bathin) tidak memiliki ajaran yang kaffah (totalitas). Seorang Mursyid akan menguasai dan memahami ajaran Islaam, kemudian membimbingkannya kepada murid/umat. Karena menguasai kedua ilmu tersebut maka ia akan mendapatkan cahaya bimbingan ruhani Nabi Muhammad Shollolloohu 'alaihi wasallam. Di sebut juga dengan ilmu laduni, artinya ilmu yang datang dari sisi Allooh (bukan hanya dari buku/kitab). Ke ilmuannya memiliki sambungan kepada Allooh melalui Mursyid-mursyid sebelumnya.
Di ibaratkan seseorang yang membutuhkan air jernih dan bersih yang bersumber di daerah pegunungan yang tinggi. Meski lokasi sumbernya jauh, dengan menggunakan pipa paralon yang disambung-sambung airnya akan mengucur (mengalir) ke tempatnya. Air akan sampai jika pipanya menyambung. Air jernih (steril) tersebut ibarat ilmu Allooh yang datang dari sisi-Nya. Pipa air yang sambung menyambung tadi di ibaratkan silsilah (mata rantai) para Mursyid.
Ilmu Allooh itu tidak datang begitu saja. Tapi mesti melewati usaha yang sungguh-sungguh, sebagaimana pencarian para Nabi dan Mursyid yang di dasari dengan kepedulian kepada ilmu Allooh (kebenaran). Sehingga setelah kesungguhan daya upaya tersebut melahirkan bimbingan yang sesungguhnya.
Ilmu yang mendapatkan bimbingan ruhani Rosulullooh itu hakikatnya berasal dari Allooh. Dan Allooh tidak henti-henti memberikan ilmu kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya. Sejalan dengan firman Allooh:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Yu’til hikmata may yasyaa wamay yu’til hikmata faqod uutiya khoyron katsiiroo. Wamaa yadz-dzakkaru illaa Ulul albaab.
“Allooh akan memberi hikmah kepada orang yang di kehendaki-Nya. Dan barang siapa yang di beri hikmah maka sungguh telah di beri kebaikan yang banyak. Dan tidaklah mendapatkan pelajaran kecuali Ulul Albab.[2] 
(Q.s. Al Baqoroh: 269)
Sebelumnya telah di sampaikan bahwa para Mursyid itu akan mendapatkan bimbingan ruhani dari Rosulullooh Shollolloohu 'alaihi wasallam, yakni ilmu agama yang kaffah (menyeluruh). Rosulullooh Shollolloohu 'alaihi wasallam merupakan pintu meraih bimbingan Allooh, karena Beliau   yang telah mendapatkan ajaran agama sesungguhnya dalam wujud Al Qur’an.
Ilmu hikmah adalah kumpulan ilmu zdahir dan bathin. Secara zdahir ayat Al Qur’an memang tidak bertambah atau berkurang, tapi dari sisi kedalaman maknanya tidak akan terukur dan berakhir.
Ilmu hikmah yang di terima Mursyid itu senantiasa baru dan tidak ada yang usang. Berbeda dengan ilmu zdahir yang memiliki kadaluarsa. Salah satu ciri Ilmu hikmah yang di terima seorang Mursyid, akan membuat pikiran terbuka dan hati akan menyambung kepada Allooh.
Lain halnya dengan seorang mubaligh yang tidak memiliki ilmu hikmah, ucapannya tidak akan membekas di hati pendengar.
Bagi yang memiliki kemauan (ke inginan), ilmu hikmah yang terucap dari lidah seorang Mursyid akan terasa segar dan tidak membosankan, karena ilmu hikmah akan keluar terus menerus tanpa henti. Kata “yu’ti” [يُؤْتِي] (memberikan) dalam bentuk fi’il mudhori’ mengandung kondisi hal wal istiqbal (sa’at ini dan akan datang).
Pengertiannya sejak ayat itu turun, hikmah akan terus mengalir kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya sampai hari kiamat.
Orang yang di kehendaki ini (man yasyaa’) tidak di sebutkan kedudukannya sebagai para Nabi, atau Ulama’. Namun orang yang di berikan hikmah tersebut (karena pilihan) jumlahnya tidak banyak. Sosok Nabi atau Rosul di turunkan satu untuk kaumnya (tidak banyak). Begitu pula sesudah berlalu masa kenabian, para Mursyid yang menerima hikmah tersebut.
Ciri sosok yang mendapatkan hikmah dari Allooh adalah ia di berikan kebaikan-kebaikan yang banyak. Ilmunya bertambah berkualitas dan manfa’at, mengalir terus hingga alam akhirat.
Dalil ini menunjukkan bahwa hikmah atau ilmu yang Allooh di berikan kepada siapa saja yang di kehendakinya, yang di kategorikan sebagai bimbingan ruhaniah. Pemberian hikmah tidak secara langsung melainkan melalui agen-Nya yang resmi (Nabi Muhammad Shollolloohu 'alaihi wasallam).
Ulama’ selain Mursyid tidak akan mendapatkan hikmah dan bimbingan ruhani Rosulullooh Shollolloohu 'alaihi wasallam, pengetahuannya hanya berasal dari kitab/buku yang di pelajarinya.

Penutup
Ilmu itu ibarat cahaya. Meskipun proses mencapainya begitu berat dan panjang, ilmu akan menyinari diri dan orang lain. Bagaikan lampu yang menyinari seluruh orang atau benda yang ada dalam jangkauannya. Makanan dan kotoran yang memiliki warna dan bentuk sama bisa di bedakan. Hal itu tidak dapat di bedakan apabila tidak terlihat (gelap) tanpa cahaya. Demikianlah manfa’at ilmu, dapat membedakan mana yang baik dan buruk.
Ilmu yang bersifat bathin mesti di capai melalui kekuatan yang berasal dari bathin, berfikir, ada kesungguhan dalam jiwa ingin mendapatkan ilmu (cahaya) sehingga belajarnya disiplin dan konsisten. Jika masa belajar sa’at ini di abaikan maka kesempatan belajar akan hilang atau berkurang (karena di pakai untuk mencari nafkah).  Yang lebih masalah lagi apabila sudah tidak ada ke inginan.
Inilah kesempatan terbuka bagi santri untuk menimba ilmu zdahir dan bathin seluas-luasnya selama di pesantren. Ilmu zahir di dapat di sekolah, sedangkan ilmu batin di dapat dari majelis bersama Guru Mursyid termasuk berzdikir untuk menyambungkan hati kepada Allooh melalui wasilah-wasilah-Nya.
Tantangan bagi mereka yang menuntut ilmu adalah hawa nafsu dan kehidupan dunia yang di kendalikan oleh syetan. Bebas tidak mau di atur, semaunya, mengejar kenikmatan sesa’at, adalah di antara bentuk karakter nafsu.
Hawa nafsu di ciptakan chemistry (senyawa) dengan kehidupan dunia, oleh karenanya amat berbahaya jika tidak di bimbing. Jika nafsu di latih dan di bimbing maka ia tidak terjebak oleh dunia, bahkan menjadikannya sebagai media untuk meraih kebahagia’an yang abadi.

[1] Belum ada padanan yang pas untuk istilah ini. Orang dedegler tidak akan berhenti mencari/mengupayakan sebelum apa yang di inginkannya terpenuhi.
[2] Ulul Albab [أُولُو الْأَلْبَابِ] adalah orang yang pikiran dan hatinya bersambung kepada Allooh. Lubb itu bersih, yakni hati dan pikirannya.




            ___/|\___
            ¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨
Walloohu Alam.