Sahadat
yang telah di kenal sejak dahulu
Sahadat Buhun
Dalam uraian Jangjawokan
sebagaimana yang di tulis terdahulu di uraikan, bahwa dalam sastra sunda lisan
jangjawokan atau ajimantra di temukan pula ada yang menyebut-nyebut nama Allooh,
sebagaimana di bawah ini.
Sehingga menurut Wahyu Wibisana
menimbulkan pertanya’an.
Apakah ajimantra semacam ini dapat
di katagorikan dalam do’a ?
Tentunya kita jangan terburu-buru
memvonis untuk menyimpulkan ajimantra atau jangjawokan sebagai suatu laku yang
tidak bisa di katagorikan do’a, hanya karena di asumsikan :
”Tidak di tujukan kepada Tuhan, melainkan di perintahkan kepada
yang gaib, dalam katagori makhluk, bukan yang maha Gaib (Tuhan)”.
Saya pikir paradigma inipun masih
menggelitikan untuk di perdebatkan.
Mengingat pada pra Islaam
masyarakat di tatar Sunda tentunya tidak menggunakan kata Allooh, bahkan sampai
sa’at ini masih banyak urang sunda yang menyebut Allooh dengan kata
Gusti Nu Maha Suci ;
Gusti Nu Maha Rohman ;
Hiyang Widi ;
Nu Murbeng sakabeh Alam.
Dalam paradigmana itu adalah
nama-nama Alloh (kholiq), bukan makhluk.
Mungkin yang perlu di teliti lebih
jauh adalah pengguna’annya.
Jangjawokan di gunakan masyarakat
Sunda Buhun atau para penganut yang sampai sa’at ini masih ada.
Jika saja di lakukan oleh urang
sunda yang tidak menganut ageman buhun, itupun tidak harus pula di sebutkan
sebagai suatu penyimpangan.
Bukankah do’a
dapat di panjatkan dengan bahas apa saja, atau lebih tepatnya, do’a
bagi manusia dapat di panjatkan dengan sesuai yang di mengertinya, atau bahasa
hatinya.
Di tujukan kapada Tuhan yang maha
mengabulkan.
Bagi Ummat Islaam tentunya hanya
sholat yang memang harus menggunakan bahasa aslinya.
Mudah mudahan tulisan ini ada yang
membahas, sehingga di kelak kemudian hari dapat terungkap budadaya dan
spiritualitasnya secara utuh.
Selamat membaca:
Sadat Islam
Sadat islam aya dua,
Ngisalmkeun badan kalawan nyawa,
Dat hurip tanggal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu
Parentah kanjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan
awaking.
Sir suci,
Sir Adam
Sir Muhammad,
Muhammad jala lalana
Nu aya di saluhuring alam.
|
Sahadat Sunda
Ashadu sahadat Sunda
Sapapada jeung pandita
Neang indung nu kabduhu
Neang Bapa Hidayyatullah
Nu mayungan sajagat,
Neangan Pangeran Kudratullah
Laillahhailloh Muhammad Rasullah
|
Sahadat Jawa
Apa pengot surat Raden Angga Keling
Pangeran Angga Warulang
Ratu suluk ajitullah
Pengaersa sa Nusa Jawa
Puputrane Ulis Akin
Kajayak ngarurug Pajajaran
Tanggal ping opat welas
Nukila di kalimati sahadati
Isun weruh umat Allah dikang Selam
|
Sahadat Bawa
Ashadu Sahadat Bawa,
Iman jati lulungguhan pulo nyawa,
Roh nyawa intening hurip,
Hurip ieu keuna ku gingsir
Langgeng teu keuna ku owah,
Lailahileloh Muhamad Rasulullah
|
Sahadat Taraju
Ashadu sahadat taraju
Idin imatan warohmatan
Walidatan, wasiratan,
Titikaptan minha yah u
Ya Allah, ya Rasulullah.
|
Sahadat Sayang
Ashadu sahadat sayang,
Kuriling ka bale suci
Cat mancet ka jagat mulya,
Tetesen ditetes ku Allah
Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah
|
Sahadat sari
Ashadu sahadat sari,
Gegedah wadah humenggang,
Ngebur-ngebur lain ratu,
Ngebyar-ngebar cahyaning pangeran,
Payung tilu nungku-nungku,
Paying emas lingga jati,
Kakayon sabar darana,
Teteras sekar cendana.
|
Sahadat Adam
Ashadu Sahadat Adam,
Sah Adam,
Ashadu nur putih alip tunggal,
Iman eling ka mulya kang kadim,
Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.
|
Sahadat Barjah
Ashadu sahadat barjah,
Enggon Allah sapatemon,
Sang Mutiara Putih calik di iman,
Patala artu miski aja ningratullah,
Titpan gedong kencana,
Nama Allah Rasulullah,
Lailaha ilaloh.
|
Sahadat Hayun
Asahadu sahadat hayun,
Hayun-hayun hurip kang hurip,
Cicipta Gusti Kang waras,
Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,
Ceg badan wujuding Allah Rasulullah
Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.
|
Sahadat Siluman
Heuah balung nangtung tulang
Tulang muntang. Colok rasa ku buana,
Deg kimili rasa,
Aing nyaho ratu sia,
Anak sia ratu Siti,
Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,
Bapa sia pangulu jin.
|
Sahadat Mustakarayunan
Asahadu mustakarayunan
Sahadat permana tunggal,
Selam lahir, selam bathin,
Selam pinarengin kersa,
Sing waspada kanu ngayuga bumi alam
Aya nu saurang, aya nu sorangan,
Aing waspada kepada Allah,
Allah waspada ka kaula.
Tenget gemereng-ereng,
Raraga gemet ruhiat,
Terusning Allah terusning rasa
Pani-pani langgeng tetep,
Langgeng agama Islam.
|
Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,
Turun saking sawarega,
Ningal ganda ningsunan sampurna,
Ganda ningsunan handiri,
Kamar langit karaton.
|
SEJARAH PENGGUNAAN BAHASA SUNDA
Bahasa Sunda sebagai
bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, kemudian
pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada
amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan – bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa
Jawa, Konon kabar sejak abad 17 (Jautuhnya Pajajaran), di tatar Sunda
menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara
Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.
Bahasa Sunda mulai
banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya
menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah
barat pulau Jawa.
Bahasa Sunda manggung
deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki
Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang
memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles
pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara
resmi
Bahasa Sunda resmi
diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan
diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan
Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang
Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De
Wilde.
Perihal hubungan Budaya
danBahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa
(een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed
Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :
“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana
djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada
bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna
kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea
oge lila-lila leungit”
Dalam perkembangan
selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan
hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa :
bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta
mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu
Budaya..
Untuk lebih mengetahui
sejarah singkatnya, saya sadur tulisan dibawah ini.
Selamat membaca.
Balangantrang
Sejarah Pengguna’an Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan
bahasa yang diciptakan dan di gunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan
komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi
dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti
berasal dari abad ke-14.
Prasasti di maksud di temukan di Kawali Ciamis, dan di tulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Di perkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan di buat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat di pastikan bahwa Bahasa Sunda telah di gunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang di sebut oleh Berita Cina dan di gunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang di tulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:
(1) Berbentuk prosa pada
Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu
tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak
sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah
berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak di masuki kosakata dan di pengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islaam, dan menegakkan kekuasa’an Agama Islaam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendahara’an kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islaam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islaam ke dalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk ke dalam perbendahara’an kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak di rasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, sholat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah di rasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendahara’an bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Keraja’an Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendahara’an bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah di gunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang di temukan di Tatar Sunda di tulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula ke dalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang di sebut Unggah Ungguh Basa.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.
Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti eja’an Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang di buat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberada’an dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan
Walloohu A’lam
___/|\___
¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨