Tingkatan Alam:
Para Ulama’ Allooh yang
kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari
Alam nasut (alam mulk / alam
jasad)
Alam malakut (alam mitsal)
Alam jabarut (alam ruh)
Alam lasut
Alam malakut (alam mitsal)
Alam jabarut (alam ruh)
Alam lasut
Alam lasut adalah alam
derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut
Alam Jabarut, adalah alam
yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah
‘sesuatu yang bukan Allooh dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan)
dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada.
Misal penghuni alam ini
adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allooh) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh
Al-Quds.
Alam Malakut adalah suatu
alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Alloohnya lebih rendah dari Alam
Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.
Baik Alam Jabarut maupun Alam
Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat di tangkap oleh indera
jasadiah kita.
Indera jasad biasanya hanya
bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam
Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad.
Misal penghuni Alam Malakut
adalah malaikat, An-nafs (jiwa).
Alam Mulk, adalah alam yang
tingkat kedekatannya dengan aspek Allooh adalah yang paling rendah.
Dalam wujudnya terbagi
menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak
tertangkap/terukur) bagi indera jasad.
Jadi karena keterbatasan
indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang
lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera
jasad.
Yang terukur oleh indera
jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.
Sedangkan penghuni alam mulk
yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala
kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa di mengerti oleh
indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)
Para Ulama’ menyebut alam
fisik ini sebagai alam nasut (alam mulk), alam yang bisa kita lihat dan kita
raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya.
Sementara itu, an nafs (jiwa)
kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waqtu.
Para ulama menyebut alam ini
alam malakut.
Jiwa (an nafs) kita, karena
berada di alam malakut, tidak dapat di lihat oleh mata lahir kita.
Jiwa (an nafs) adalah bagian
batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat di lihat oleh mata bathin (ain bashiroh).
Jadi manusia terdiri dari ruh
di alam jabarut, jiwa (an nafs) di alam malakut dan jasad di alam mulk
Jiwa (an nafs) juga memliki
bentuk seperti jasad.
Jiwa (an nafs) akan tumbuh
dengan memakan cahaya ruh (amr Allooh), sabda-sabda Allooh, perintah-perintah
Allooh.
Oleh karenanya kita kenal
ungkapan “bangunlah jiwanya (an nafs) bangunlah badannya (jasad)”
Sering di katakan sebagai
“bentuk ruh” sebenarnya adalah bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk dari amal
kebaikan (amal sholeh) .
Bentuk ruh atau bentuk jiwa
(an nafs) yang terbentuk bagi manusia yang sempurna atau muslim yang
berakhlakul karimah adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik, mereka
yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan.
Imam Malik ra berkata:
“Ruh manusia yang sholeh itu
sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Ada sebagian di antara
manusia yang dapat melihat bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) dirinya atau
orang lain,mereka dapat menengok ke alam malakut,kemampuan itu di peroleh
karena mereka sudah melatih mata bathinya dengan riyadhoh kerohanian atau
karena anugrah Allooh Ta’ala (al-mawahib al-robbaniyyah).
Para Nabi, para wali Allooh
(shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke
alam malakut itu.
Di tanyakan kepada Imam Ibn
Hajar Al-Haitami (semoga Allooh memberikan kemanfa’atan atas ilmunya).
“Apakah mungkin zaman
sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi shollolloohu ‘alaihi wa sallam
dalam ke ada’an terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
Imam Ibn Hajar menjawab:
”Ya, hal itu dapat terjadi,
dan telah di jelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara
langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allooh seperti Imam al-Ghozali,
Al-Barizi, Taaj ad-Diin as-Subki, dan al-‘Afiif al-Yafi’i yang mana mereka
adalah Ulama’_Ulama’ madzhab Syafi’i, serta Qurthubi dan Ibn Abi Jamroh yang
mana mereka adalah Ulama’_Ulama madzhab Maliki.
Dan di kisahkan, bahwasanya
ada Wali Allooh menghadiri majlis ilmunya seorang yang faqih, kemudian seorang
faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadits, lalu Wali
tersebut berkata:
“Hadits itu bathil.”
Maka Sang faqih pun berkata:
“Bagaimana bisa engkau
mengatakan kalau hadits ini bathil, dari siapa?”
Sang Wali menjawab:
“Itu Nabi shollolloohu
‘alaihi wa sallam sedang berdiri di hadapanmu dan Beliau bersabda:
[Inniy lam aqul hadzal
hadits]
“Sesungguhnya aku tidak
mengucapkan hadist ini-“
Lalu faqih tersebut di bukakan
hijabnya dan beliau pun dapat melihat Nabi shollolloohu ‘alaihi wa sallam.
(al-Fatawa al-Haditsiyyah li
Ibn Hajar al-Haitami)
Pada suatu waqtu Hasan al
Qassab dan kawannya datang berziarah ke quburan muslimin,setelah mereka memberi
salam kepada ahli qubur dan mendo’akannya, mereka kembali pulang.
Di perjalanan ia bertemu
dengan salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab :
“Ini hari adalah hari Senin.
Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli qubur mengetahui kedatangan
kita di hari Jum’at dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”
al-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm telah
di beritahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah quburan pada hari
Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli qubur mengetahui
kedatangannya.
Hal itu karena kebesaran dan
kemulia’an hari Jum’at.
Di riwayatkan salah satu dari
keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi melihatnya dan berkata kepadanya :
“Bukankan kamu telah
meninggal dunia?
“Dan di mana kamu sekarang?
Asem berkata :
“Saya berada di antara
kebun-kebun sorga, Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul setiap malam
Jum’at dan pagi hari Jum’at di tempat Abu Bakar bin Abdullah al Muzni.
“Di sana kita mendapatkan
berita-berita tentang kamu di dunia.
Kemudian saudaranya yang
bermimpi bertanya :
“Apakan kalian berkumpul
dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian?
Maka mayyit itu ( Asem
al-Jahdari ) berkata :
“Tidak mungkin kami berkumpul
dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan tetapi kami
berkumpul dengan ruh-ruh kami “
Kemudian di tanya :
“Apakah kalian mengetahui
kedatangan kami ?
Maka di jawab : “Ya!.. Kami
mengetahui kedatangan kamu pada hari Jum’at dan pagi hari Sabtu sampai terbit
matahari “.
Kemudan di tanya : “Kenapa
tidak semua hari-hari kamu mengetahui kedatangan kami?
Ia (mayyit) pun menjawab : “Ini
adalah dari kebesaran dan ke afdholan hari Jum’at “.
Ibunya Utsman al Tofawi di sa’at
datang sakaratul maut, berwasiat kepada anaknya :
“Wahai anakku yang menjadi
simpananku di sa’at datang hajatku kepadamu.
“Wahai anakku yang menjadi
sandaranku di sa’at hidupku dan matiku.
“Wahai anakku janganlah kamu
lupa padaku menziarahiku setelah wafatku“.
Setelah ibunya meninggal
dunia, ia selalu datang setiap hari Jum’at ke quburannya, berdo’a dan
beristighfar bagi arwahnya dan bagi arwah semua ahli qubur.
Pernah suatu hari Utsman al
Tofawi bermimpi melihat ibunya dan berkata :
“Wahai anakku sesunggunya
kematian itu suatu bencana yang sangat besar.
“Akan tetapi, Alhamdulillah,
aku bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang penuh
dengan kenikmatan.
“Aku duduk di tikar permadani
yang penuh dengan dengan sandaran dipan-dipan yang di buat dari sutera halus
dan sutera tebal.
Demikianlah ke ada’anku
sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdo’a bagiku.
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdo’a bagiku.
“Sesungguhnya aku selalu
mendapat kegembira’an dengan kedatanganmu setiap hari Jum’at.
“Jika kamu datang ke
quburanku semua ahli qubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.
al-Fadhel bin Muaffaq di sa’at
ayahnya meninggal dunia, sangat sedih sekali dan menyesalkan kematiannya.
Setelah di qubur, ia selalu menziarahinya hampir setiap hari.
Kemudian setelah itu mulai
berkurang dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada
ayahnya dan segera menziarahinya. Di sa’at ia duduk di sisi quburan ayahnya, ia
tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari quburan dengan
kafannya. Ia menangis sa’at melihatnya.
Ayahnya berkata : “wahai
anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku?
Al-Fadhel berkata : “ Apakah kamu
mengetahui kedatanganku?
Ayahnya pun menjawab : “ Kamu
pernah datang setelah aku di qubur dan aku mendapatkan ketenangan dan sangat
gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di sekitarku sangat
gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah dengan do’a-do’amu”.
Mulai saat itu ia tidak
pernah lepas lagi untuk menziarahi ayahnya.
Oleh karenanya bagi umat Islaam
yang tidak lagi memiliki waktu untuk menziarahi ahli qubur setiap hari Jum’at
maka untuk menjaga tali silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan setiap malam
Jum’at.
Jadi mereka yang melarang
(mengharamkan) hadiah baca’an Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di
alam barzakh (alam penantian) yang sangat lebih lama dari alam dunia dalam
kesendirian karena tidak ada yang bersilaturahmi.
Salah satu firman Allooh yang
sering di salah pahami oleh mereka sehingga mereka secara tidak langsung
menganggap Rosulullooh yang telah wafat tidak dapat mendengar adalah yang
artinya,
“dan tidak (pula) sama
orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allooh memberi
pendengaran kepada siapa yang di kehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada
sanggup menjadikan orang yang di dalam qubur dapat mendengar”
(QS Faathir [35]:22)
Berikut contoh penjelasan
dari kitab tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo jilid 2 halaman 574
(dan tidak pula sama
“orang-orang yang hidup” dan “orang-orang yang mati”) orang-orang beriman
dengan orang-orang kafir; di tambahkan lafaz la pada ketiga ayat di atas untuk
mengukuhkan makna tidak sama.
(Sesungguhnya Allooh
memberikan “pendengaran” kepada siapa yang di kehendaki-Nya) untuk mendapat
hidayah lalu ia menerimanya dengan penuh ke Iimanan
(dan kamu sekali-kali tiada
sanggup menjadikan “orang yang di dalam qubur” dapat “mendengar”) yakni
orang-orang kafir; mereka di serupakan dengan orang-orang yang telah mati,
maksudnya kamu tidak akan sanggup menjadikan mereka “mendengar”, kemudian
mereka mau menerima seruanmu.
(QS Faathir [35]:22)
Jadi para mufassir (ahli tafsir)
menjelaskan bahwa kamu (Rosulullooh) tidak akan sanggup menjadikan “orang-orang
yang mati” atau “orang yang di dalam qubur” dalam makna majaz (makna kiasan
atau metaforis) yang artinya “orang-orang kafir” mau menerima seruanmu (seruan
Rosulullooh) karena sesungguhnya Allooh memberikan “pendengaran” dalam makna
majaz (makna kiasan atau metaforis) yang artinya memberikan petunjuk atau hidayah
kepada siapa yang di kehendaki-Nya.
Jadi firman Allooh Ta’ala
tersebut tidak ada kaitannya dengan ahli qubur dalam makna dzahir.
Allooh Ta’ala mengibaratkan
orang-orang kafir seperti “orang-orang yang mati” karena orang-orang kafir
dapat mendengar seruan namun tidak mau menerima ajakan atau menjawab seruan
yakni melaksanakan apa yang di perintahkanNya dan menjauhi apa yang di larangNya.
Begitupula Allooh Ta’ala
mengibaratkan “orang-orang kafir” seperti orang-orang tuli yang tidak bisa
“mendengar” (menerima ajakan atau menjawab seruan) sama sekali apabila mereka
sedang membelakangi kita.
Firman Allah Ta’ala yang
artinya
“Maka Sesungguhnya kamu tidak
akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan
menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu
berpaling membelakang*
(Q.S Ar Ruum: [30]: 52)
“Kalau sekiranya Allooh
mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allooh menjadikan mereka dapat
mendengar. dan Jikalau Allooh menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka
pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka
dengar itu).
(Q.S Al Anfaal [8] :23)
Sedangkan orang-orang yang
telah wafat pada kenyata’annya dapat mendengar apa yang orang masih hidup
bicarakan dan dapat melihat apa yang di lakukan orang yang masih hidup namun
mereka tidak dapat menjawab atau berkomunikasi secara langsung.
Dari Tsabit Al Bunani dari
Anas bin Malik Rosulullooh Shollolloohu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah
perang Badar tiga kali, setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri
dan memanggil-manggil mereka, beliau bersabda:
“Hai Abu Jahal bin Hisyam,
hai Umaiyah bin Kholaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah,
bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Robb kalian, sesungguhnya aku
telah menemukan kebenaran janji Robbku yang di janjikan padaku.
Umar mendengar ucapan Nabi
Shollolloohu ‘alaihi wa Salam, ia berkata:
“Wahai Rosulullooh, bagaimana
mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai?
Beliau bersabda: Demi Dzat
yang jiwaku berada di tanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi
mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab.
(HR Muslim 5121)
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Tidak seorangpun yang
mengunjungi quburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendo’akannya)
kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan
quburan itu.
(HR. Ibnu Abu Dunya dari
Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Tidak seorang pun melewati
kuburan saudaranya yang mu’min yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang
yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan
menjawab salamnya itu.
(Hadis Shohih riwayat Ibnu
Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perbuatan
kalian di perlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah
meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar
gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata:
“Ya Allooh, janganlah engkau
matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau
memberikan hidayah kepada kami.
(HR. Ahmad dalam musnadnya).
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Hidupku lebih baik buat
kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan
mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian di sampaikan kepadaku. Jika aku
menemukan kebaikan maka aku memuji Allooh.
“Namun jika menemukan
keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allooh buat kalian.
(Hadits ini di riwayatkan
oelh Al Hafidh Isma’il al Qodli pada Juz’u al Sholaati ‘ala al Nabiyi Sholloloohu
alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya
sebagai hadits shohih.
Jadi berziarah qubur maupun
berdo’a kepada Allooh, bertawassul dengan Rosulullooh dan para Wali Allooh yang
telah wafat berfungsi pula untuk menyambung tali silaturahmi.
Ahli qubur dapat mendengar
dan mendo’akan orang yang masih hidup namun amal perbuatan mereka tidak di perhitungkan
lagi sebagaimana sabda Rosulullooh tentang “terputuslah segala amalannya
kecuali tiga perkara;
Ssedekah jariyah
Ilmu yang bermanfa’at baginya
Dan anak sholeh yang selalu
mendo’akannya.
Makna “inqatha’a ‘amaluhu ,
terputuslah segala amalannya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka
kesempatan beramalnya sudah terputus maksudnya apapun yang mereka perbuat,
seperti penyesalan atau minta ampun ketika ahli qubur yang durhaka memasuki
alam barzakh atau para ahli qubur dari para Wali Allooh yang selalu mengingat
Allooh dan mendo’akan umat Islaam yang masih hidup yang menyambung tali
silaturahmi dengan mereka tidak akan di perhitungkan lagi amalnya kecuali amal
yang masih di perhitungkan terus adalah apa yang di hasilkan dari amal yang
mereka perbuat ketika masih hidup seperti.
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfa’at bagi dirinya dan yang di sampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendo’akannya
2. Ilmu yang bermanfa’at bagi dirinya dan yang di sampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendo’akannya
Hadits tersebut tidak di katakan,
“inqata’a intifa’uhu”, “terputus ke ada’annya untuk memperoleh manfa’at”.
Adapun amal orang lain, maka
itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada ahli qubur
maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada ahli qubur.
Jadi para wali Allooh yang
sudah wafat menolong umat Islaam yang masih hidup dengan do’a mereka kepada
Allooh Azza wa Jalla bukan dengan “angkatan perang ghaib” sebagaimana yang mereka
katakan dalam tulisan mereka.
Contoh berdo’a kepada Allooh
untuk meminta ampunan, bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan
barokah pujian kepada Rosulullooh adalah sebagaimana kisah yang termuat dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam
Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam
Contohnya dapat kita baca
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir , terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz
5, hal 283-284
**** awal kutipan *****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat qubur Nabi Shollolloohu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan:
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat qubur Nabi Shollolloohu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan:
“Assalamu’alaika, ya
Rosulullooh (semoga kesejahtera’an terlimpahkan kepadamu, wahai Rosulullooh).
Aku telah mendengar Allooh
Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya jikalau mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh,
dan Rosul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allooh
Maha Penerima Thobat lagi Maha Penyayang‘.
(QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu,
memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allooh) dan meminta syafa’at kepadamu
(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui
tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:
“Hai sebaik-baik orang yang
di kebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari
pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
“Diriku sebagai tebusan kubur
yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan,
dan kemulia’an.
Kemudian lelaki Badui itu
pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.
Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shollolloohu alaihi
wasallam., lalu beliau shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Hai Atabi, susullah orang Badui
itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allooh telah memberikan
ampunan kepadanya!”
****** akhir kutipan *****
****** akhir kutipan *****
Mereka yang menganggap
bertawassul dengan Rosulullooh maupun para Wali Allooh (kekasih Allooh) yang
telah wafat adalah syirik akbar berpendapat bahwa firman Allooh dalam (QS
An-Nisa [4]: 64) hanya berlaku ketika Rosulullooh masih hidup sehingga kisah
tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rosulullooh Shollolloohu alaihi
wasallam, bagi mereka adalah kisah yang bertentang dengan Al Qur’an dan As
Sunnah sehingga ada pula pihak yang pada sa’at menerbitkan ulang kitab tafsir
Ibnu Katsir menghilangkan kisah tersebut.
Prof, DR Ali Jum’ah
menjelasakan tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al
Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qodlayahum” telah di terbitkan
kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Da’wah Kaum ‘Salafi’ ”
Berikut kutipan penjelasan
Prof, DR Ali Jum’ah.
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang
menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya
sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk
mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Ke umuman (ke mutlakan) makna
suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal,sedangkan
taqyid (mengikat ayat dengan ke ada’an tertentu) membutuhkan dalil yang
menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman Ulama’
ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu
Katsir.
Dalam tafsirnya, setelah
menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata:
“Banyak Ulama’ dalam kitab
Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Begitupula Ulama’_Ulama’
terdahulu yang mengikuti Rosulullooh dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
seperti, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi
petunjuk di anjurkan datang menemui Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam untuk
minta ampun dosa kepada Allooh di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa
umatnya. Dan ini tidak terputus dengan wafat Rosulullooh shollolloohu alaihi
wasallam.
(Ibnu Hajar al-Haitami,
al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, Ulama’
dari mazhab Maliki berkata:
***** awal kutipan *****
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan ke agungan syafaat Nabi shollolloohu alaihi wasallam di sisi Allooh itu tidak bisa di sandingi oleh dosa apapun.
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan ke agungan syafaat Nabi shollolloohu alaihi wasallam di sisi Allooh itu tidak bisa di sandingi oleh dosa apapun.
Syafa’at Nabi shollolloohu
alaihi wasallam lebih agung di bandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah
orang menziarahi (makam) nya bergembira.
Dan hendaklah orang tidak mau
menziarahinya, mau kembali kepada Allooh Ta’ala dengan tetap meminta syafa’at
Nabi shollolloohu alaihi wasallam.
Barang siapa yang mempunyai
keyakinan yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang
(dari syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam).
Apakah ia tidak pernah
mendengar firman Allooh yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus
seseorang Rosul melainkan untuk di ta’ati dengan seizin Allooh. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allooh, dan Rosul_pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allooh Maha Penerima Thaubat lagi Maha Penyayang.
( QS An Nisaa [4] : 64 )
Oleh karena itu, barang siapa
yang mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan
beliau, maka ia akan mendapati Allooh Maha Penerima Thobat lagi Maha Penyayang.
Karena sesungguhnya Allooh Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allooh Ta’ala telah berjanji
untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi
shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak di ragukan
lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allooh
dan RosulNya.
“Kami berlindung diri kepada
Allooh dari halangan mendapatkan syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam”.
(Ibnu al Hajj, Al Madkhal,
1/260)
****** akhir kutipan ******
****** akhir kutipan ******
Imam an Nawawi, Ulama’ dari
kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shollolloohu
alaihi wasallam berkata:
“Kemudian ia (peziarah)
kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami
Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah
wajah Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam.
Lalu ia bertawassul dari
beliau kepada Allooh,sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang di ceritakan
oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thoyyib dan Ulama’ lainnya (An Nawawi,
Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah
dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke
makam Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di
atas, mengajak bicara Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam dengan memakai
ayat tersebut dan meminta kepada beliau untuk di mintakan ampunan kepada Allooh.
***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, do’a dan sholawat kepada Nabi shollolloohu alaihi wasallam hendaknya ia berdo’a:
Maka setelah peziarah membaca salam, do’a dan sholawat kepada Nabi shollolloohu alaihi wasallam hendaknya ia berdo’a:
“Ya Allooh, sesungguhnya
Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh, dan Rosulpun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allooh Maha Penerima Thaubat lagi
Maha Penyayang.
( QS An Nisaa [4] : 64 )
“Aku datang kepadamu (Nabi shollolloohu
alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan
sebagai orang yang meminta syafa’at melaluimu kepada Tuhanku.
“Aku memohon kepadaMu , wahai
Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang
menemui beliau (Nabi shollolloohu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdo’a
untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******
****** akhir kutipan *******
Umat Islaam setiap hari
selalu bertawasul dengan Rosulullooh yang sudah wafat dengan mengucapkan:
“ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA ROHMATULLOOHI WA BAROKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para
Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim
yang meraih manzilah (maqom/derajat) di sisiNya yakni orang-orang sholih baik
yang sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat
bertawasul dengan ucapan:
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL,
ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rosulullooh
menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA
‘IBAADILLAAHISH SHOOLIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allooh yang sholih)
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allooh yang sholih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia
mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholih
baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada
kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan
kepada kami Al A’masy dia berkata;
“Telah menceritakan kepadaku
Syaqiq dari Abdullah dia berkata;
“Ketika kami membaca sholawat
di belakang Nabi shollolloohu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan:
“ASSALAAMU ‘ALALLAHI QOBLA
‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA
FULAAN WA FULAAN .
(Semoga keselamatan
terlimpahkan kepada Allooh, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril,
Mika’il, kepada fulan dan fulan).
Ketika Nabi shollolloohu
‘alaihi wasallam selesai melaksanakan sholat, beliau menghadapkan wajahnya
kepada kami dan bersabda:
“Sesungguhnya Allooh adalah
As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam sholat (tahiyyat),
hendaknya mengucapkan;
“AT-TAHIYYATUT LILLAHI
WASH-SHOLAWAATU WATH-THOYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA ROHMATULLOOHI
WA BAROKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHOOLIHIIN.
(penghormatan, rahmat dan
kebaikan hanya milik Allooh.
Semoga keselamatan, Rahmat,
dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi.
Keselamatan juga semoga ada
pada hamba-hamba Allooh yang sholih).
Sesungguhnya jika ia
mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholih
baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan;
“ASYHADU ALLAA ILAAHA
ILLALLOOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH
(Aku bersaksi bahwa tiada
Dzat yang berhaq di sembah selain Allooh, dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya).
Setelah itu ia boleh memilih
do’a yang ia kehendaki.
(HR Bukhori 5762)
Oleh karenanya berdo’a
setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allooh,
bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah ucapan salam atau
bersholawat kepada Nabi Shollolloohu alaihi wasallam dan bertawasul dengan
bertabaruk atau berperantara dengan barokah ucapan salam kepada hamba-hamba
yang sholih baik di langit maupun di bumi dan pada awalnya para sahabat
bertawasul dengan penduduk langit dengan menyebut nama mereka satu persatu ,
ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN.
Pada peristiwa mi’raj ,
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam di pertemukan dengan para Nabi
terdahulu yang telah menjadi penduduk langit.
Rosulullooh shollolloohu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Kami meneruskan perjalanan
sehingga sampai di langit ke enam, lalu aku menemui Nabi Musa dan memberi salam
kepadanya.
Dia segera menjawab:
“Selamat datang wahai saudara
yang dan Nabi yang sholih.
Ketika aku meningalkannya,
dia terus menangis.
Lalu dia d itanya:
“Apakah yang menyebabkan kamu
menangis?
Dia menjawab:
“Wahai Tuhanku! Kamu telah
mengutus pemuda ini setelahku, tetapi Umatnya lebih banyak memasuki Surga
daripada Umatku.
(HR Muslim 238)
Rosulullooh bersabda:
“Maka Allooh pun
mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan
kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya.
Aku telah melihat diriku
bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku di perlihatkan Nabi Musa yang
sedang berdiri melaksanakan sholat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang
kekar dan berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah.
Aku juga di perlihatkan Isa
bin Maryam yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat.
Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqofi
adalah manusia yang paling mirip dengannya,telah di perlihatkan pula kepadaku
Nabi Ibrohim yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat, orang yang paling
mirip denganya adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika
waktu sholat telah masuk, akupun mengimami mereka semua. Dan seusai
melaksanakan sholat, ada seseorang berkata:
“Wahai Muhammad, ini adalah
malaikat penjaga api neraka, berilah salam kepadanya!
Maka akupun menoleh
kepadanya, namun ia segera mendahuluiku memberi salam.
(HR Muslim 251)
Penduduk langit sebagaimana
yang di kabarkan oleh Rosulullooh di temui sedang sholat karena penduduk langit
selalu mengingat dan berzdikir kepada Allooh Ta’ala.
Firman Allooh Azza wa Jalla
yang artinya:
“Semua yang berada di langit
dan yang berada di bumi bertashbih kepada Allooh, Dan Dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
(QS Al Hadid [57]:1)
Al-Baihaqi dalam kitab
Hayatul Anbiya’ mengeluarkan hadis dari Anas rodhiyalloohu anhu, Nabi shollolloohu
alaihi wasallam, bersabda:
“Para nabi hidup di qubur
mereka dalam ke ada’an mengerjakan sholat.”
Penduduk langit mereka hidup
sebagaimana para syuhada’
Firman Allooh Azza wa Jalla
yang artinya:
”Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allooh (syuhada’), (bahwa
mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
menyadarinya.
(QS Al Baqoroh [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allooh (syuhada’) itu mati; bahkan mereka itu
hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
(QS Ali Imron [3]: 169)
“Orang-orang yang di karuniai
nikmat oleh Allooh adalah:
Para Nabi, para shiddiqin,
para syuhada’ dan orang-orang sholih, mereka itulah sebaik-baik teman“.
(QS An Nisaa [4]: 69)
Imam al-Baihaqi telah
membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun
Nubuwwah:
“Para Nabi hidup di sisi
Tuhan mereka seperti para syuhada’.
Al-Baihaqi mengeluarkan hadits
dari Anas ra: Nabi shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya para Nabi
tidaklah di tinggalkan di dalam qubur mereka setelah empat puluh malam, akan
tetapi mereka sholat di hadapan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala sampai di tiupnya
sangkakala.
Sufyan meriwayatkan dalam
al-Jami’, ia mengatakan:
“Syeikh kami berkata, dari
Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan:
“Tidaklah seorang Nabi itu
tinggal di dalam quburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia di angkat.
Al-Baihaqi menyatakan, atas
dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan
Allooh menempatkan mereka.
Abdur Rozzaq dalam Musnadnya
meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia
berkata:
“Tidaklah seorang Nabi
mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.
Abui Miqdam meriwayatkan dari
Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang sholeh, Ibn Hibban dalam
Tarikhnya dan Thobroni dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari
Anas ra berkata:
Rosulullooh saw bersabda:
“Tidaklah seorang Nabi pun
yang meninggal, kemudian mendiami quburnya kecuali hanya empat puluh hari.”
Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin
Thahir al-Baghdadi mengatakan:
“Para sahabat kami yang ahli
kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad shollolloohu alaihi
wasallam hidup setelah wafatnya.
Adalah beliau shollolloohu
alaihi wasallam bergembira dengan ke ta’atan Ummatnya dan bersedih dengan
kemaksiatan mereka, dan beliau membalas sholawat dari ummatnya.
Ia menambahkan:
“Para Nabi alaihi salam
tidaklah di makan oleh bumi sedikit pun.
Nabi Musa alaihi salam sudah
meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia sholat
di quburnya.
Di sebutkan dalam hadits yang
membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad shollolloohu alaihi wasallam
melihat Nabi Musa alaihi salam di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrohim.
Jika hal ini benar adanya,
maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad shollolloohu alaihi wasallam
juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”
Penduduk langit juga bisa
menyaksikan dan mengenal hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana di
nyatakan Rosulullooh:
“Sesungguhnya para penghuni
langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzdikir kepada Allooh
bagaikan bintang yang bersinar di langit.
Dalam Al Qur’an di nyatakan
dalam ayat:
“Untuk mereka kabar gembira
waqtu mereka hidup di dunia dan di akhirat.
(QS Yunus/10:64).
Para Ulama’ tafsir
mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu
Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rosulullooh menjelaskan:
“Yang di maksud ayat ini
ialah mimpi baik yang di lihat atau di perlihatkan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala
kepadanya.
Dalam ayat lain lebih jelas
lagi Allooh berfirman:
“Allooh memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waqtu tidurnya.
(QS al-Zumar [39]:42).
Rosulullooh bersabda:
“Sebagaimana engkau tidur
begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah
engkau di bangkitkan (dari alam qubur)”
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian.
Bahwasanya tidur dan mati
memiliki kesama’an, ia adalah saudara yang sulit di bedakan kecuali dalam hal
yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar.
Penduduk langit seperti para
Nabi yang di temui oleh Rosulullooh dalam bentuk Ruh atau bentuk jiwa (an nafs)
mereka yang sesuai dengan sebaik-baik bentuk jasad mereka.
Begitu juga para kekasih
Allooh (wali Allooh) yang masih hidup atas kehendakNya dapat berjumpa dan
berguru dengan penduduk langit, termasuk dengan Rosulullooh yang sudah wafat.
Jadi penduduk langit dapat
bertemu dengan manusia yang masih hidup.
Abdullah Ibnu Abbas r.a.
pernah berkata:
“Ruh orang tidur dan Ruh
orang mati bisa bertemu di waqtu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
menggenggam Ruh manusia pada dua keadaan, pada ke ada’an tidur dan pada ke ada’an
matinya.
Ibnu Zaid berkata:
“Mati adalah wafat dan tidur
juga adalah wafat.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah
mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan:
“Kematian bukanlah ketiada’an
yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu ke ada’an (alam)
kepada ke ada’an (alam) lain.
Para kekasih Allooh (wali
Allooh) adalah muslim yang dekat dengan Allooh, orang-orang yang telah meraih
manzilah (maqom/derajat) di sisi Allooh dan berkumpul dengan Rosulullooh
shollolloohu alaihi wasallam karena mereka berakhlakul karimah.
Allooh Azza wa Jalla telah
mensucikan (menganugerahkan) mereka dengan akhlaq yang tinggi
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
”…Sekiranya kalau bukan
karena karunia Allooh dan Rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu
yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allooh
membersihkan siapa saja yang di kehendaki…”
(QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah
mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi
yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya
mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling
baik.”
(QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allooh ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu.
(QS Al Hujuroot [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang
lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka.
(QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barang siapa yang
menta’ati Allooh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang di anugerahi ni’mat oleh Allooh, yaitu :
Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya .
(QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu
berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah
orang-orang yang di beri karunia ni’mat oleh Allooh atau orang-orang yang telah
di bersihkan (di sucikan / di pelihara) oleh Allooh Ta’ala sehingga terhindar
dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim
yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim
yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh).
Hubungan yang tercipta antara
Allooh Ta’ala dengan al-awliya (para wali Allooh) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi
(205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemelihara’an), al-mawaddah
(cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini di peroleh
karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allooh,
sehingga ia menjadi tanggung jawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemelihara’an, cinta
kasih, dan pertolongan Allooh kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi
dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allooh dan merasakan
kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada
al-ri’ayah (pemelihara’an), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah
(pertolongan) Allooh kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai
pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang
beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpelihara’an dari dosa;
meskipun ‘ishmah yang di miliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang
beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat
dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga)
dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah
sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat
‘ishmah, yakni:
“Ishmah al-anbiya (‘ishmah
Nabi)
“Ishmah al-awliya (‘ishmah
para wali)
“Ishmah al-’ammah (‘ishmah
kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allooh telah
mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun
mereka berbuat kesalahan maka akan di beri kesempatan untuk menyadari kesalahan
mereka ketika masih di dunia.
Sedangkan ulama’ su’ (ulama’
yang buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak di sadarkan oleh
Allooh Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalah pahamannya sehingga mereka
menyadarinya di akhirat kelak.
Tujuan beragama adalah
menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku di utus
(Allooh) untuk menyempurnakan Akhlaq.
(HR Ahmad)
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
“Sungguh dalam dirimu
terdapat akhlaq yang mulia”.
(QS Al-Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rosulullooh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (Rahmat) Allooh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allooh”.
(QS Al-Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi:
“Wahai Rosulullooh, apakah
ihsan itu?
Beliau menjawab:
“Kamu takut (khasyyah) kepada
Allooh seakan-akan kamu melihat-Nya (berma’rifat)
“Maka jika kamu tidak
melihat-Nya (berma’rifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.
(HR Muslim 11)
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
“Sesungguhnya yang takut
kepada Allooh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’
(QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada
Allooh karena mereka selalu yakin di awasi oleh Allooh Azza wa Jalla atau mereka
yang selalu menyaksikan Allooh dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan
bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang di benciNya
, menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar
sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allooh
Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang berma’rifat adalah muslim
yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan:
“Asy-Syahid untuk menunjukkan
sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan
ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak.
“Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra.
berkata, bahwa Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam berkata:
“Seutama-utama Iiman
seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allooh selalu
bersamanya, di mana pun ia berada“
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallm bersabda:
“Iiman paling afdol ialah apabila
kamu mengetahui bahwa Allooh selalu menyertaimu di manapun kamu berada“.
(HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a.
pernah di tanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani:
“Apakah Anda pernah melihat
Tuhan?
Beliau menjawab:
“Bagaimana saya menyembah
yang tidak pernah saya lihat?
“Bagaimana Anda melihat-Nya?”
tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab:
“Dia tak bisa di lihat oleh
mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa di lihat oleh hati”
Tidak semua manusia dapat
menggunakan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari
cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allooh Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allooh Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada
gerak dan perbuatannya ketika ta’at kepada Allooh Ta’ala, pada sa’at yang sama
ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia
jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang
Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak
dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan
tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik
hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika
bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allooh.
Inilah yang d inamakan Buta
Mata Hati.
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
“Shummun bukmun ‘umyun fahum
laa yarji’uuna
“Mereka tuli, bisu dan buta
(tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan
yang benar)
(QS Al BAqoroh [2]:18)
Shummun bukmun ‘umyun fahum
laa ya’qiluuna.
“Mereka tuli (tidak dapat
menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak
mengerti.
(QS Al Baqoroh [2]:171)
“Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
(al Hajj 22 : 46)
“Dan barang siapa yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula)
dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
(QS Al Isro’ 17 : 72)
Para Ulama’ Allooh mengatakan
bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya
hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab,
terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa
menjadi hijab, dll.
Salah satu bentuk nafsu hijab
terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya
melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau ke ada’an bathin itu hanya melihat
dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan
Allooh dengan hatinya (ain bashiroh).
Rosulullooh bersabda:
“Kesombongan adalah menolak
kebenaran dan menganggap remeh orang lain.
(Shohih, HR. Muslim no. 91
dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Tiada masuk surga orang yang
dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
(HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi ,
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Allooh berfirman:
“Ke agungan adalah sarungKu
dan kesombongan adalah pakaianKu.
“Barang siapa merebutnya
(dari Aku) maka Aku menyiksanya”.
(HR. Muslim)
Rosulullooh shollolloohu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Kemuliaan adalah sarung-Nya
dan kesombongan adalah selendang-Nya.
“Barang siapa menentang-Ku,
maka Aku akan mengadzabnya.
(HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan:
“Orang yang tidak memiliki
tiga perkara berikut, berarti Iimannya belum bermanfa’at.
Tiga perkara tersebut adalah
santun ketika mengingatkan orang lain;
Wara yang menjauhkannya dari
hal-hal yang haram / terlarang;
Dan akhlak mulia dalam
bermasyarakat (bergaul)“.
Seorang lelaki bertanya pada
Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam:
“Musllim yang bagaimana yang
paling baik?
“Ketika orang lain tidak
(terancam) di sakiti oleh tangan dan lisannya.
Jawab Rosulullooh Shollolloohu
alaihi wasallam.
Rosulullooh shollolloohu
aliahi wasallam bersabda;
“Tiada lurus Iiman seorang
hamba sehingga lurus hatinya
“Dan tiada lurus hatinya
sehingga lurus lidahnya“.
(HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra
menasehatkan:
“Jangan pernah tertipu oleh
teriakan seseorang (da’wah bersuara / bernada keras).
“Tapi akuilah orang yang
menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Rosulullooh shollolloohu
alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang
bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allooh karena tidak bertambah
hidayahnya.
Rasulullah shollolloohu
alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang bertambah
ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada
Allooh melainkan bertambah jauh.
“Sungguh celaka orang yang tidak
berilmu.
“Sungguh celaka orang yang
beramal tanpa ilmu
“Sungguh celaka orang yang
berilmu tetapi tidak beramal
“Sungguh celaka orang yang
berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlaq baik atau
muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal,
akhlak (ihsan)
Ilmu harus di kawal hidayah.
Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari
Allooh Ta’ala.
Sebaliknya seorang ahli ilmu
(Ulama’) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allooh
Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) di sisiNya dan di buktikan
dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana di peribahasakan
oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk,
semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak
sombong.
Orang-orang yang telah meraih
manzilah (maqom atau derajat) dekat dengan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala dapat
membantu orang lain untuk dapat melihat alam malakut dengan do’a dan tentunya
dengan izdinNya seperti contoh riwayat berikut ini:
Pada suatu hari Abu Bashir
berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak
mengelilingi Ka’bah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia
membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat
pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shodiq ra, Ulama
besar dari keturunan cucu Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam, menyuruh
Abu Bashir menutup matanya.
Imam Ja’far mengusap
wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia
melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong,
mengaum.
Imam Ja’far berkata:
“Betapa banyaknya lolongan
atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.
Apa yang di saksikan Abu
Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh
manusia.
Apa yang di lihat kedua
kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk Ruh atau bentuk jiwa (an nafs)
mereka.
Seperti tubuh, Ruh mempunyai
rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda:
busuk atau harum.
Rupa Ruh jauh lebih beragam
dari rupa tubuh. berkena’an dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut
wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang.
Ruh dapat betul-betul berupa
binatang babi atau kera.
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
“Katakanlah: apakah akan Aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi
Allooh, yaitu orang-orang yang di kutuki dan di murkai Allooh, di antara mereka
ada yang di jadikan kera dan babi dan penyembah Thogut?
Mereka itu lebih buruk
tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”.
(QS Al-Maidah [5]: 60)
Al-Ghozali menulis: “Al-Khuluq
dan Al-Kholq kedua-duanya di gunakan.
Misalnya si Fulan mempunyai
khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan bathin.
Yang di maksud dengan kholq
adalah bentuk lahir
Yang di maksud dengan khuluq
adalah bentuk bathin.
Karena manusia terdiri dari
tubuh yang dapat di lihat dengan mata lahir dan Ruh yang dapat di lihat dengan
mata bathin.
Keduanya mempunyai rupa dan
bentuk baik jelek maupun indah.
Ruh yang dapat di lihat
dengan mata bathin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang dapat di
lihat dengan mata lahir.
Karena itulah Allooh
memuliakan Ruh dengan menisbahkan kepada diri-Nya.
Firman Allah Ta’ala yang
artinya
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat
“Aku menjadikan manusia dan’
tanah.
Maka apabila telah kusempurnakan
kejadiannya dan kutiupkan kepadanya Ruhku; maka hendaklah kamu tersungkur
dengan bersujud kepadanya.
(QS. Shood [38]:71-72).
Allooh menunjukkan bahwa
jasad berasal dari tanah dan ruh dari Tuhan semesta alam.
(Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab-
berarti akhlaq.
Ruh kita menjadi indah dengan
akhlaq yang baik dan menjadi buruk dengan akhlaq yang buruk.
Dalam teori akhlaq dari Al-Ghozali,
orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki Ruh yang berbentuk
babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki Ruh yang berbentuk
binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya
akan mempunyai Ruh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk
memperindah bentuk Ruh kita, kita harus melatihkan akhlaq yang baik.
Meningkatkan kualitas
spiritual, berarti mernperindah akhlaq kita.
Kita dapat simpulkan dari do’a
ketika bercermin:
“Alloohumma kama ahsanta kholqi
fa hassin khuluqi.
(Ya Allooh, sebagaimana
Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku)
Setelah manusia wafat di tetapkanlah
apa yang telah di capainya selama perjalanannya di dunia menjadi Ruh manusia beriman
atau Ruh manusia durhaka
Kabar tentang Ruh manusia
beriman
Lalu terdengarlah sebuah
panggilan dari langit:
“Jika memang hamba-Ku ini
benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian
dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.
Kemudian Ruh orang yang
beriman di kembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu di luaskan
quburannya sejauh mata memandang.
Selanjutnya datanglah seorang
laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata:
“Berbahagialah dengan segala
yang membahagiakan Anda.
“Ini adalah hari kebahagia’an
Anda yang telah Allooh janjikan.
Orang beriman tersebut
bertanya:
“Siapakah engkau?
“Wajahmu tampan sekali.
Ia menjawab:
“Aku adalah amal sholeh Anda.
Kabar tentang Ruh manusia
durhaka
Setelah itu terdedengar
sebuah pamggilan dari langit:
“Jika ia benar-benar
berdusta, hamparkanlah untuknya sebuah hamparan yang terbuat dari api neraka,
dan bukakanlah untuknya sebuah pintu yang menuju ke neraka.
Ketika pintu itu di buka,
maka panas dan racunnya langsung menembus badannya dan quburannya pun menjadi
semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulang-tulangnya berserakan”.
Ia kemudian di datangi
seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk. Orang
itu berkata kepadanya:
“Berbahagialah kamu dengan
sesuatu yang membinasakanmu.
“Hari ini adalah hari
kesengsaraanmu yang telah Allooh janjikan!
Orang yang mati durhaka itu
kemudian bertanya:
“Siapakah engkau?
“Wajahmu sangat buruk.
Ia menjawab:
“Aku adalah amal burukmu”.
Imam Syafi’i ~ rohimahullooh
mengatakan:
“Sesungguhnya saya
memperhatikan anak Adam, setiap mereka itu di cintai, mereka terikat oleh cinta
orang yang mencintainya, dan sebagian orang yang di cintainya itu di temani
oleh kekasihnya sampai kepada masa sakit di ambang kematiannya.
Sebagian lagi di temani oleh
sang kekasih sampai ke pintu qubur, kemudian semuanya kembali dan
meninggalkannya sendirian,tidak seorang pun yang mendampinginya di alam qubur.
Maka aku pun berfikir dan
berkata:
“Sebaik-baik orang yang di cintai
seseorang adalah yang ikut menemaninya ke dalam qubur, mendampingi serta
memberi manfa’at kepadanya di alam qubur.
Maka tidak satupun yang bisa
melakukan itu selain amal sholeh, maka akhirnya aku menjadikan amal sholeh
sebagai kekasih sejatiku, supaya nanti dia menjadi penerang di qubur saya
kelak, mendampingi serta tidak meninggalkan saya sendirian”
Dua dimensi jiwa manusia
senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif
manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang di alami Habil. Dan jiwa
negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang
terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang
Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rosulullooh Shollolloohu alaihi
wasalam. Ia putera seorang konglomerat Mekkah.
Namanya menjadi buah bibir
masyarakat, terutama kaum mudanya,sebelum masuk Islaam ia di kenal dalam
lingkaran pergaulan jet set.
Namun, suatu hari mereka tak
lagi melihat sosoknya,mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi
lain.
Benar, ia sudah bersentuhan
dengan da’wah Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam dan hidup dalam
kemanisan Iiman dan kedamaian risalahnya,sehingga coba’an beratpun ia terima
dengan senyuman dan kesabaran,kehidupan glamour ia lepaskan,bahkan dialah yang
terpilih sebagai juru da’wah kepada penduduk Madinah.
Di sisi lain , tengoklah pribadi
Musailamah Al-Khadzdzab,setelah mengikuti kafilah da’wah Rosulullooh Shollolloohu
alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan
kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai Nabi palsu.
Akhirnya ia mati terbunuh
dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki
harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia
bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq.
Akan tetapi seringkali
harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya
yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Di sinilah betapa besar
peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan,
tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan,
minuman, ataupun lainnya,semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai
jiwa manusia.
Islaam , sebagai Din yang
haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya
untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya
pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Di samping itu, di perlukan
pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islaam serta peningkatan pengamalannya.
Evaluasi diri dan introspeksi
harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa.
Manakala jalan ini di tempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia
termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya
terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang
merugi menurut kriteria Allooh Shubhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan
penyempurnaannya. maka Allooh mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan
ketakqwa’annya.
“Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya.
(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda
itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik
dalam hibungannya dengan Allooh, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan
memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Allooh dan Rosul-Nya dan
bermanfa’at bagi lingkungan sekitarnya.
Sedangkan jiwa yang kotor
akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.
Adalah benar bahwa Allooh
tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang di lihat adalah hatinya,
sebagaimana di sebutkan dalam satu hadits.
Tetapi ini di maksudkan
sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk
menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan di
terima Allooh manakala ada kesejajaran antara perilaku lahiriah dan bathiniah,
di samping sesuai dengan tuntunan Din.
Lebih dari itu, secara
lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allooh,dengan khusyu’ ia
melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya.
Namun jiwanya belum tunduk
ruku dan sujud kepada Allooh Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan
ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu
pekerja’an yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan,
ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik
lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, di sana banyak hal yang
harus di kerahkan dan di korbakan.
Sedangkan pengotoran jiwa,
seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah
dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di
rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka di taburi
dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rosulullooh Shoollolloohu alaihi
wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi
lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi
dalam kemaksiatan dan dosa. Di mana kreasi manusia begitu canggih dan
signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islaam memiliki
sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan
tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad –
dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan.
Sehingga tidak ada paradoksal
antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan
dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlaq
Islami, meski tanpa pemerkosa’an dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan
dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allooh Shubhanahu
wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep
ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang
tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa
manusia.
Akhirnya, nilai nilai positif
dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah
apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shollolloohu alaihi
wasallam
“Orang yang sabar dalam
berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acap kali mengalami
banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya,sehingga mereka merasa asing dalam keramaian.
Namun demikian, tidaklah
berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup,bahkan sebaliknya, mereka
harus merasa optimis,sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya
orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islaam.
“Islaam mulai datang dalam
keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya.
“Maka berbahagialah orang –
orang yang terasing”.
(Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini,
tak tahu entah di mana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa di anjurkan
oleh Allooh agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan
Allooh tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada
jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu,
manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan
berlari.
Sungguh Allooh benar-benar
Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk
orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah,
jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhaq meraih panggilan kasih sayang
–Nya.
Firman Allooh Ta’ala yang
artinya:
“Hai jiwa yang tenang .
Kembalilah kepada Robb-mu dengan hati yang puas dan di ridhoi-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.
(QS.Al Fajr [89] :
27-30)
Walloohu A’lam.
_______/|\______
¨¨¨¨¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨¨¨¨