Senin, 28 Oktober 2019

Tingkatan Alam




Tingkatan Alam:
Para Ulama’ Allooh yang kasyaf mengabarkan bahwa secara garis besar alam terdiri dari
Alam nasut (alam mulk / alam jasad)
Alam malakut (alam mitsal)
Alam jabarut (alam ruh)
Alam lasut
Alam lasut adalah alam derajat/tingkatan/maqom nya di atas Alam Jabarut
Alam Jabarut, adalah alam yang “paling dekat” dengan aspek-aspek Ketuhanan, penghuni alam Jabarut adalah ‘sesuatu yang bukan Allooh dalam aspek Ahadiyyah’, melainkan derivasi (turunan) dari aspek Ahadiyyah yang tertinggi selain apa pun yang ada.
Misal penghuni alam ini adalah Nafakh Ruh (Tiupan Ruh Allooh) yang mampu manghidupkan jasad, Ruh Al-Quds.
Alam Malakut adalah suatu alam yang tingkat kedekatan dengan aspek Alloohnya lebih rendah dari Alam Jabarut, namun masih lebih tinggi dari Alam Mulk.
Baik Alam Jabarut maupun Alam Malakut, keduanya adalah realitas/wujud yang tidak dapat di tangkap oleh indera jasadiah kita.
Indera jasad biasanya hanya bisa menangkap sesuatu yang terukur secara jasad, sedang Alam Jabarut dan Alam Malakut memiliki ukuran melampui ukuran jasad.
Misal penghuni Alam Malakut adalah malaikat, An-nafs (jiwa).
Alam Mulk, adalah alam yang tingkat kedekatannya dengan aspek Allooh adalah yang paling rendah.
Dalam wujudnya terbagi menjadi 2, yang tertangkap oleh indera jasad dan yang gaib (dalam arti tidak tertangkap/terukur) bagi indera jasad.
Jadi karena keterbatasan indera jasad kita, ada wujud yang sebetulnya bukan penghuni alam-alam yang lebih tinggi dari alam mulk, tetapi juga tidak tertangkap kemampuan indera jasad.
Yang terukur oleh indera jasad contohnya tubuh/jasad manusia, jasad hewan, jasad tumbuhan.
Sedangkan penghuni alam mulk yang tidak terukur oleh indera jasad contohnya adalah jin dengan segala kehidupannya. Jin dengan segala kehidupannya bisa di mengerti oleh indera-indera malakuti (indera-indera an-nafs/jiwa)
Para Ulama’ menyebut alam fisik ini sebagai alam nasut (alam mulk), alam yang bisa kita lihat dan kita raba, Kita dapat menggunakan pancaindera kita untuk mencerapnya.
Sementara itu, an nafs (jiwa) kita hidup di alam ghaib (metafisik), tidak terikat dalam ruang dan waqtu.
Para ulama menyebut alam ini alam malakut.
Jiwa (an nafs) kita, karena berada di alam malakut, tidak dapat di lihat oleh mata lahir kita.
Jiwa (an nafs) adalah bagian batiniah dari diri kita. Ia hanya dapat di lihat oleh mata bathin (ain bashiroh).
Jadi manusia terdiri dari ruh di alam jabarut, jiwa (an nafs) di alam malakut dan jasad di alam mulk
Jiwa (an nafs) juga memliki bentuk seperti jasad.
Jiwa (an nafs) akan tumbuh dengan memakan cahaya ruh (amr Allooh), sabda-sabda Allooh, perintah-perintah Allooh.
Oleh karenanya kita kenal ungkapan “bangunlah jiwanya (an nafs) bangunlah badannya (jasad)”
Sering di katakan sebagai “bentuk ruh” sebenarnya adalah bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk dari amal kebaikan (amal sholeh) .
Bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) yang terbentuk bagi manusia yang sempurna atau muslim yang berakhlakul karimah adalah serupa dengan bentuk jasadnya yang terbaik, mereka yang sudah dapat mengalahkan nafsu hewani atau nafsu syaitan.
Imam Malik ra berkata:
“Ruh manusia yang sholeh itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Ada sebagian di antara manusia yang dapat melihat bentuk ruh atau bentuk jiwa (an nafs) dirinya atau orang lain,mereka dapat menengok ke alam malakut,kemampuan itu di peroleh karena mereka sudah melatih mata bathinya dengan riyadhoh kerohanian atau karena anugrah Allooh Ta’ala (al-mawahib al-robbaniyyah).
Para Nabi, para wali Allooh (shiddiqin), dan orang-orang sholeh seringkali mendapat kesempatan melihat ke alam malakut itu.
Di tanyakan kepada Imam Ibn Hajar Al-Haitami (semoga Allooh memberikan kemanfa’atan atas ilmunya).
“Apakah mungkin zaman sekarang seseorang dapat berkumpul dengan Nabi shollolloohu ‘alaihi wa sallam dalam ke ada’an terjaga dan mengambil Ilmu langsung dari beliau?”
Imam Ibn Hajar menjawab:
”Ya, hal itu dapat terjadi, dan telah di jelaskan bahwa berkumpul dan mengambil ilmu dari Nabi secara langsung adalah sebagian dari karomah wali-wali Allooh seperti Imam al-Ghozali, Al-Barizi, Taaj ad-Diin as-Subki, dan al-‘Afiif al-Yafi’i yang mana mereka adalah Ulama’_Ulama’ madzhab Syafi’i, serta Qurthubi dan Ibn Abi Jamroh yang mana mereka adalah Ulama’_Ulama madzhab Maliki.
Dan di kisahkan, bahwasanya ada Wali Allooh menghadiri majlis ilmunya seorang yang faqih, kemudian seorang faqih yang sedang mengajar tersebut meriwayatkan sebuah hadits, lalu Wali tersebut berkata:
“Hadits itu bathil.”
Maka Sang faqih pun berkata:
“Bagaimana bisa engkau mengatakan kalau hadits ini bathil, dari siapa?”
Sang Wali menjawab:
“Itu Nabi shollolloohu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri di hadapanmu dan Beliau bersabda:
[Inniy lam aqul hadzal hadits]
“Sesungguhnya aku tidak mengucapkan hadist ini-“
Lalu faqih tersebut di bukakan hijabnya dan beliau pun dapat melihat Nabi shollolloohu ‘alaihi wa sallam.
(al-Fatawa al-Haditsiyyah li Ibn Hajar al-Haitami)
Pada suatu waqtu Hasan al Qassab dan kawannya datang berziarah ke quburan muslimin,setelah mereka memberi salam kepada ahli qubur dan mendo’akannya, mereka kembali pulang.
Di perjalanan ia bertemu dengan salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab :
“Ini hari adalah hari Senin. Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli qubur mengetahui kedatangan kita di hari Jum’at dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”
al-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm telah di beritahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah quburan pada hari Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli qubur mengetahui kedatangannya.
Hal itu karena kebesaran dan kemulia’an hari Jum’at.
Di riwayatkan salah satu dari keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi melihatnya dan berkata kepadanya :
“Bukankan kamu telah meninggal dunia?
“Dan di mana kamu sekarang?
Asem berkata :
“Saya berada di antara kebun-kebun sorga, Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul setiap malam Jum’at dan pagi hari Jum’at di tempat Abu Bakar bin Abdullah al Muzni.
“Di sana kita mendapatkan berita-berita tentang kamu di dunia.
Kemudian saudaranya yang bermimpi bertanya :
“Apakan kalian berkumpul dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian?
Maka mayyit itu ( Asem al-Jahdari ) berkata :
“Tidak mungkin kami berkumpul dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan tetapi kami berkumpul dengan ruh-ruh kami “
Kemudian di tanya :
“Apakah kalian mengetahui kedatangan kami ?
Maka di jawab : “Ya!.. Kami mengetahui kedatangan kamu pada hari Jum’at dan pagi hari Sabtu sampai terbit matahari “.
Kemudan di tanya : “Kenapa tidak semua hari-hari kamu mengetahui kedatangan kami?
Ia (mayyit) pun menjawab : “Ini adalah dari kebesaran dan ke afdholan hari Jum’at “.
Ibunya Utsman al Tofawi di sa’at datang sakaratul maut, berwasiat kepada anaknya :
“Wahai anakku yang menjadi simpananku di sa’at datang hajatku kepadamu.
“Wahai anakku yang menjadi sandaranku di sa’at hidupku dan matiku.
“Wahai anakku janganlah kamu lupa padaku menziarahiku setelah wafatku“.
Setelah ibunya meninggal dunia, ia selalu datang setiap hari Jum’at ke quburannya, berdo’a dan beristighfar bagi arwahnya dan bagi arwah semua ahli qubur.
Pernah suatu hari Utsman al Tofawi bermimpi melihat ibunya dan berkata :
“Wahai anakku sesunggunya kematian itu suatu bencana yang sangat besar.
“Akan tetapi, Alhamdulillah, aku bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang penuh dengan kenikmatan.
“Aku duduk di tikar permadani yang penuh dengan dengan sandaran dipan-dipan yang di buat dari sutera halus dan sutera tebal.
Demikianlah ke ada’anku sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdo’a bagiku.
“Sesungguhnya aku selalu mendapat kegembira’an dengan kedatanganmu setiap hari Jum’at.
“Jika kamu datang ke quburanku semua ahli qubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.
al-Fadhel bin Muaffaq di sa’at ayahnya meninggal dunia, sangat sedih sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah di qubur, ia selalu menziarahinya hampir setiap hari.
Kemudian setelah itu mulai berkurang dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada ayahnya dan segera menziarahinya. Di sa’at ia duduk di sisi quburan ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari quburan dengan kafannya. Ia menangis sa’at melihatnya.
Ayahnya berkata : “wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku?
Al-Fadhel berkata : “ Apakah kamu mengetahui kedatanganku?
Ayahnya pun menjawab : “ Kamu pernah datang setelah aku di qubur dan aku mendapatkan ketenangan dan sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah dengan do’a-do’amu”.
Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk menziarahi ayahnya.
Oleh karenanya bagi umat Islaam yang tidak lagi memiliki waktu untuk menziarahi ahli qubur setiap hari Jum’at maka untuk menjaga tali silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan setiap malam Jum’at.
Jadi mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah baca’an Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam penantian) yang sangat lebih lama dari alam dunia dalam kesendirian karena tidak ada yang bersilaturahmi.
Salah satu firman Allooh yang sering di salah pahami oleh mereka sehingga mereka secara tidak langsung menganggap Rosulullooh yang telah wafat tidak dapat mendengar adalah yang artinya,
“dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allooh memberi pendengaran kepada siapa yang di kehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam qubur dapat mendengar”
(QS Faathir [35]:22)
Berikut contoh penjelasan dari kitab tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo jilid 2 halaman 574
(dan tidak pula sama “orang-orang yang hidup” dan “orang-orang yang mati”) orang-orang beriman dengan orang-orang kafir; di tambahkan lafaz la pada ketiga ayat di atas untuk mengukuhkan makna tidak sama.
(Sesungguhnya Allooh memberikan “pendengaran” kepada siapa yang di kehendaki-Nya) untuk mendapat hidayah lalu ia menerimanya dengan penuh ke Iimanan
(dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan “orang yang di dalam qubur” dapat “mendengar”) yakni orang-orang kafir; mereka di serupakan dengan orang-orang yang telah mati, maksudnya kamu tidak akan sanggup menjadikan mereka “mendengar”, kemudian mereka mau menerima seruanmu.
(QS Faathir [35]:22)
Jadi para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan bahwa kamu (Rosulullooh) tidak akan sanggup menjadikan “orang-orang yang mati” atau “orang yang di dalam qubur” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis) yang artinya “orang-orang kafir” mau menerima seruanmu (seruan Rosulullooh) karena sesungguhnya Allooh memberikan “pendengaran” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis) yang artinya memberikan petunjuk atau hidayah kepada siapa yang di kehendaki-Nya.
Jadi firman Allooh Ta’ala tersebut tidak ada kaitannya dengan ahli qubur dalam makna dzahir.
Allooh Ta’ala mengibaratkan orang-orang kafir seperti “orang-orang yang mati” karena orang-orang kafir dapat mendengar seruan namun tidak mau menerima ajakan atau menjawab seruan yakni melaksanakan apa yang di perintahkanNya dan menjauhi apa yang di larangNya.
Begitupula Allooh Ta’ala mengibaratkan “orang-orang kafir” seperti orang-orang tuli yang tidak bisa “mendengar” (menerima ajakan atau menjawab seruan) sama sekali apabila mereka sedang membelakangi kita.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang*
(Q.S Ar Ruum: [30]: 52)
“Kalau sekiranya Allooh mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allooh menjadikan mereka dapat mendengar. dan Jikalau Allooh menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).
(Q.S Al Anfaal [8] :23)
Sedangkan orang-orang yang telah wafat pada kenyata’annya dapat mendengar apa yang orang masih hidup bicarakan dan dapat melihat apa yang di lakukan orang yang masih hidup namun mereka tidak dapat menjawab atau berkomunikasi secara langsung.
Dari Tsabit Al Bunani dari Anas bin Malik Rosulullooh Shollolloohu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali, setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil mereka, beliau bersabda:
“Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin Kholaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Robb kalian, sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Robbku yang di janjikan padaku.
Umar mendengar ucapan Nabi Shollolloohu ‘alaihi wa Salam, ia berkata:
“Wahai Rosulullooh, bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai?
Beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab.
(HR Muslim 5121)
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Tidak seorangpun yang mengunjungi quburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendo’akannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan quburan itu.
(HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mu’min yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.
(Hadis Shohih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perbuatan kalian di perlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata:
“Ya Allooh, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.
(HR. Ahmad dalam musnadnya).
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian di sampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allooh.
“Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allooh buat kalian.
(Hadits ini di riwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qodli pada Juz’u al Sholaati ‘ala al Nabiyi Sholloloohu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shohih.
Jadi berziarah qubur maupun berdo’a kepada Allooh, bertawassul dengan Rosulullooh dan para Wali Allooh yang telah wafat berfungsi pula untuk menyambung tali silaturahmi.
Ahli qubur dapat mendengar dan mendo’akan orang yang masih hidup namun amal perbuatan mereka tidak di perhitungkan lagi sebagaimana sabda Rosulullooh tentang “terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara;
Ssedekah jariyah
Ilmu yang bermanfa’at baginya
Dan anak sholeh yang selalu mendo’akannya.
Makna “inqatha’a ‘amaluhu , terputuslah segala amalannya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan beramalnya sudah terputus maksudnya apapun yang mereka perbuat, seperti penyesalan atau minta ampun ketika ahli qubur yang durhaka memasuki alam barzakh atau para ahli qubur dari para Wali Allooh yang selalu mengingat Allooh dan mendo’akan umat Islaam yang masih hidup yang menyambung tali silaturahmi dengan mereka tidak akan di perhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih di perhitungkan terus adalah apa yang di hasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika masih hidup seperti.
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfa’at bagi dirinya dan yang di sampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendo’akannya
Hadits tersebut tidak di katakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus ke ada’annya untuk memperoleh manfa’at”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepada ahli qubur maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepada ahli qubur.
Jadi para wali Allooh yang sudah wafat menolong umat Islaam yang masih hidup dengan do’a mereka kepada Allooh Azza wa Jalla bukan dengan “angkatan perang ghaib” sebagaimana yang mereka katakan dalam tulisan mereka.
Contoh berdo’a kepada Allooh untuk meminta ampunan, bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah pujian kepada Rosulullooh adalah sebagaimana kisah yang termuat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam
Contohnya dapat kita baca dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir , terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284 
 **** awal kutipan *****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat qubur Nabi Shollolloohu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan:
“Assalamu’alaika, ya Rosulullooh (semoga kesejahtera’an terlimpahkan kepadamu, wahai Rosulullooh).
Aku telah mendengar Allooh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh, dan Rosul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allooh Maha Penerima Thobat lagi Maha Penyayang‘.
(QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allooh) dan meminta syafa’at kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:
“Hai sebaik-baik orang yang di kebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
“Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemulia’an.
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shollolloohu alaihi wasallam., lalu beliau shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allooh telah memberikan ampunan kepadanya!”
****** akhir kutipan *****
Mereka yang menganggap bertawassul dengan Rosulullooh maupun para Wali Allooh (kekasih Allooh) yang telah wafat adalah syirik akbar berpendapat bahwa firman Allooh dalam (QS An-Nisa [4]: 64) hanya berlaku ketika Rosulullooh masih hidup sehingga kisah tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam, bagi mereka adalah kisah yang bertentang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga ada pula pihak yang pada sa’at menerbitkan ulang kitab tafsir Ibnu Katsir menghilangkan kisah tersebut.
Prof, DR Ali Jum’ah menjelasakan tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qodlayahum” telah di terbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Da’wah Kaum ‘Salafi’ ”
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah.
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Ke umuman (ke mutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal,sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan ke ada’an tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman Ulama’ ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir.
Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata:
“Banyak Ulama’ dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula Ulama’_Ulama’ terdahulu yang mengikuti Rosulullooh dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk di anjurkan datang menemui Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allooh di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini tidak terputus dengan wafat Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam.
(Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, Ulama’ dari mazhab Maliki berkata:
***** awal kutipan *****
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan ke agungan syafaat Nabi shollolloohu alaihi wasallam di sisi Allooh itu tidak bisa di sandingi oleh dosa apapun.
Syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam lebih agung di bandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah orang menziarahi (makam) nya bergembira.
Dan hendaklah orang tidak mau menziarahinya, mau kembali kepada Allooh Ta’ala dengan tetap meminta syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam.
Barang siapa yang mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang (dari syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam).
Apakah ia tidak pernah mendengar firman Allooh yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rosul melainkan untuk di ta’ati dengan seizin Allooh. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh, dan Rosul_pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allooh Maha Penerima Thaubat lagi Maha Penyayang.
( QS An Nisaa [4] : 64 )
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan beliau, maka ia akan mendapati Allooh Maha Penerima Thobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allooh Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allooh Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak di ragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allooh dan RosulNya.
“Kami berlindung diri kepada Allooh dari halangan mendapatkan syafa’at Nabi shollolloohu alaihi wasallam”.
(Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
****** akhir kutipan ******
Imam an Nawawi, Ulama’ dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shollolloohu alaihi wasallam berkata:
“Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam.
Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allooh,sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang di ceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thoyyib dan Ulama’ lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di atas, mengajak bicara Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada beliau untuk di mintakan ampunan kepada Allooh.
***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, do’a dan sholawat kepada Nabi shollolloohu alaihi wasallam hendaknya ia berdo’a:
“Ya Allooh, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh, dan Rosulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allooh Maha Penerima Thaubat lagi Maha Penyayang.
( QS An Nisaa [4] : 64 )
“Aku datang kepadamu (Nabi shollolloohu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafa’at melaluimu kepada Tuhanku.
“Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shollolloohu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdo’a untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******
Umat Islaam setiap hari selalu bertawasul dengan Rosulullooh yang sudah wafat dengan mengucapkan: “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA ROHMATULLOOHI WA BAROKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) di sisiNya yakni orang-orang sholih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawasul dengan ucapan:
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rosulullooh menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHOOLIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allooh yang sholih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholih baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata;
“Telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata;
“Ketika kami membaca sholawat di belakang Nabi shollolloohu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan:
“ASSALAAMU ‘ALALLAHI QOBLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN .
(Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allooh, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan).
Ketika Nabi shollolloohu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan sholat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda:
“Sesungguhnya Allooh adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam sholat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan;
“AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHOLAWAATU WATH-THOYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA ROHMATULLOOHI WA BAROKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHOOLIHIIN.
(penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allooh.
Semoga keselamatan, Rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi.
Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allooh yang sholih).
Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang sholih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan;
“ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLOOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH
(Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhaq di sembah selain Allooh, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).
Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki.
(HR Bukhori 5762)
Oleh karenanya berdo’a setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allooh, bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah ucapan salam atau bersholawat kepada Nabi Shollolloohu alaihi wasallam dan bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah ucapan salam kepada hamba-hamba yang sholih baik di langit maupun di bumi dan pada awalnya para sahabat bertawasul dengan penduduk langit dengan menyebut nama mereka satu persatu , ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN.
Pada peristiwa mi’raj , Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam di pertemukan dengan para Nabi terdahulu yang telah menjadi penduduk langit.
Rosulullooh shollolloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kami meneruskan perjalanan sehingga sampai di langit ke enam, lalu aku menemui Nabi Musa dan memberi salam kepadanya.
Dia segera menjawab:
“Selamat datang wahai saudara yang dan Nabi yang sholih.
Ketika aku meningalkannya, dia terus menangis.
Lalu dia d itanya:
“Apakah yang menyebabkan kamu menangis?
Dia menjawab:
“Wahai Tuhanku! Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku, tetapi Umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada Umatku.
(HR Muslim 238)
Rosulullooh bersabda:
“Maka Allooh pun mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya.
Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku di perlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan sholat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah.
Aku juga di perlihatkan Isa bin Maryam yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat.
Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqofi adalah manusia yang paling mirip dengannya,telah di perlihatkan pula kepadaku Nabi Ibrohim yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat, orang yang paling mirip denganya adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika waktu sholat telah masuk, akupun mengimami mereka semua. Dan seusai melaksanakan sholat, ada seseorang berkata:
“Wahai Muhammad, ini adalah malaikat penjaga api neraka, berilah salam kepadanya!
Maka akupun menoleh kepadanya, namun ia segera mendahuluiku memberi salam.
(HR Muslim 251)
Penduduk langit sebagaimana yang di kabarkan oleh Rosulullooh di temui sedang sholat karena penduduk langit selalu mengingat dan berzdikir kepada Allooh Ta’ala.
Firman Allooh Azza wa Jalla yang artinya:
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertashbih kepada Allooh, Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS Al Hadid [57]:1)
Al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Anbiya’ mengeluarkan hadis dari Anas rodhiyalloohu anhu, Nabi shollolloohu alaihi wasallam, bersabda:
“Para nabi hidup di qubur mereka dalam ke ada’an mengerjakan sholat.”
Penduduk langit mereka hidup sebagaimana para syuhada’
Firman Allooh Azza wa Jalla yang artinya:
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allooh (syuhada’), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
(QS Al Baqoroh [2]: 154 )
”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allooh (syuhada’) itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
 (QS Ali Imron [3]: 169)
“Orang-orang yang di karuniai nikmat oleh Allooh adalah:
Para Nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang sholih, mereka itulah sebaik-baik teman“.
(QS An Nisaa [4]: 69)
Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah:
“Para Nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada’.
Al-Baihaqi mengeluarkan hadits dari Anas ra: Nabi shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya para Nabi tidaklah di tinggalkan di dalam qubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka sholat di hadapan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala sampai di tiupnya sangkakala.
Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan:
“Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan:
“Tidaklah seorang Nabi itu tinggal di dalam quburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia di angkat.
Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allooh menempatkan mereka.
Abdur Rozzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata:
“Tidaklah seorang Nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.
Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang sholeh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thobroni dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas ra berkata:
Rosulullooh saw bersabda:
“Tidaklah seorang Nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami quburnya kecuali hanya empat puluh hari.”
Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan:
“Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad shollolloohu alaihi wasallam hidup setelah wafatnya.
Adalah beliau shollolloohu alaihi wasallam bergembira dengan ke ta’atan Ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas sholawat dari ummatnya.
Ia menambahkan:
“Para Nabi alaihi salam tidaklah di makan oleh bumi sedikit pun.
Nabi Musa alaihi salam sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia sholat di quburnya.
Di sebutkan dalam hadits yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad shollolloohu alaihi wasallam melihat Nabi Musa alaihi salam di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrohim.
Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad shollolloohu alaihi wasallam juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”
Penduduk langit juga bisa menyaksikan dan mengenal hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana di nyatakan Rosulullooh:
“Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzdikir kepada Allooh bagaikan bintang yang bersinar di langit.
Dalam Al Qur’an di nyatakan dalam ayat:
“Untuk mereka kabar gembira waqtu mereka hidup di dunia dan di akhirat.
(QS Yunus/10:64).
Para Ulama’ tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rosulullooh menjelaskan:
“Yang di maksud ayat ini ialah mimpi baik yang di lihat atau di perlihatkan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala kepadanya.
Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allooh berfirman:
“Allooh memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waqtu tidurnya.
(QS al-Zumar [39]:42).
Rosulullooh bersabda:
“Sebagaimana engkau tidur begitupulah engkau mati, dan sebagaimana engkau bangun (dari tidur) begitupulah engkau di bangkitkan (dari alam qubur)”
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam telah membukakan kepada kita salah satu sisi tabir kematian.
Bahwasanya tidur dan mati memiliki kesama’an, ia adalah saudara yang sulit di bedakan kecuali dalam hal yang khusus, bahwa tidur adalah mati kecil dan mati adalah tidur besar.
Penduduk langit seperti para Nabi yang di temui oleh Rosulullooh dalam bentuk Ruh atau bentuk jiwa (an nafs) mereka yang sesuai dengan sebaik-baik bentuk jasad mereka.
Begitu juga para kekasih Allooh (wali Allooh) yang masih hidup atas kehendakNya dapat berjumpa dan berguru dengan penduduk langit, termasuk dengan Rosulullooh yang sudah wafat.
Jadi penduduk langit dapat bertemu dengan manusia yang masih hidup.
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata:
“Ruh orang tidur dan Ruh orang mati bisa bertemu di waqtu tidur dan saling berkenalan sesuai kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menggenggam Ruh manusia pada dua keadaan, pada ke ada’an tidur dan pada ke ada’an matinya.
Ibnu Zaid berkata:
“Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan:
“Kematian bukanlah ketiada’an yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu ke ada’an (alam) kepada ke ada’an (alam) lain.
Para kekasih Allooh (wali Allooh) adalah muslim yang dekat dengan Allooh, orang-orang yang telah meraih manzilah (maqom/derajat) di sisi Allooh dan berkumpul dengan Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam karena mereka berakhlakul karimah.
Allooh Azza wa Jalla telah mensucikan (menganugerahkan) mereka dengan akhlaq yang tinggi
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allooh dan Rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allooh membersihkan siapa saja yang di kehendaki…”
(QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”
(QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allooh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
(QS Al Hujuroot [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka.
(QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barang siapa yang menta’ati Allooh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang di anugerahi ni’mat oleh Allooh, yaitu :
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .
(QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang di beri karunia ni’mat oleh Allooh atau orang-orang yang telah di bersihkan (di sucikan / di pelihara) oleh Allooh Ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh).
Hubungan yang tercipta antara Allooh Ta’ala dengan al-awliya (para wali Allooh) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemelihara’an), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini di peroleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allooh, sehingga ia menjadi tanggung jawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemelihara’an, cinta kasih, dan pertolongan Allooh kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allooh dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemelihara’an), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan) Allooh kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpelihara’an dari dosa; meskipun ‘ishmah yang di miliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni:
“Ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi)
“Ishmah al-awliya (‘ishmah para wali)
“Ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allooh telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan di beri kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Sedangkan ulama’ su’ (ulama’ yang buruk) adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak di sadarkan oleh Allooh Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalah pahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku di utus (Allooh) untuk menyempurnakan Akhlaq.
(HR Ahmad)
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlaq yang mulia”.
(QS Al-Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullooh itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allooh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allooh”.
(QS Al-Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi:
“Wahai Rosulullooh, apakah ihsan itu?
Beliau menjawab:
“Kamu takut (khasyyah) kepada Allooh seakan-akan kamu melihat-Nya (berma’rifat)
“Maka jika kamu tidak melihat-Nya (berma’rifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.
(HR Muslim 11)
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allooh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama’
(QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allooh karena mereka selalu yakin di awasi oleh Allooh Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allooh dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang di benciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allooh Ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang berma’rifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan:
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak.
“Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam berkata:
“Seutama-utama Iiman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allooh selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallm bersabda:
“Iiman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allooh selalu menyertaimu di manapun kamu berada“.
(HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah di tanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani:
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?
Beliau menjawab:
“Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab:
“Dia tak bisa di lihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa di lihat oleh hati”
Tidak semua manusia dapat menggunakan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allooh Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika ta’at kepada Allooh Ta’ala, pada sa’at yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allooh.
Inilah yang d inamakan Buta Mata Hati.
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
“Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna
“Mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)
(QS Al BAqoroh [2]:18)
Shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna.
“Mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.
(QS Al Baqoroh [2]:171)
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
 (al Hajj 22 : 46)
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
(QS Al Isro’ 17 : 72)
Para Ulama’ Allooh mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll.
Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau ke ada’an bathin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allooh dengan hatinya (ain bashiroh).
Rosulullooh bersabda:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.
(Shohih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
(HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Allooh berfirman:
“Ke agungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu.
“Barang siapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”.
(HR. Muslim)
Rosulullooh shollolloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya.
“Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.
(HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan:
“Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti Iimannya belum bermanfa’at.
Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain;
Wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang;
Dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Seorang lelaki bertanya pada Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam:
“Musllim yang bagaimana yang paling baik?
“Ketika orang lain tidak (terancam) di sakiti oleh tangan dan lisannya.
Jawab Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam.
Rosulullooh shollolloohu aliahi wasallam bersabda;
“Tiada lurus Iiman seorang hamba sehingga lurus hatinya
“Dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“.
(HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan:
“Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (da’wah bersuara / bernada keras).
“Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allooh karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shollolloohu alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allooh melainkan bertambah jauh.
“Sungguh celaka orang yang tidak berilmu.
“Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu
“Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal
“Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlaq baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus di kawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allooh Ta’ala.
Sebaliknya seorang ahli ilmu (Ulama’) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allooh Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) di sisiNya dan di buktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana di peribahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Orang-orang yang telah meraih manzilah (maqom atau derajat) dekat dengan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala dapat membantu orang lain untuk dapat melihat alam malakut dengan do’a dan tentunya dengan izdinNya seperti contoh riwayat berikut ini:
Pada suatu hari Abu Bashir berada di Masjid A-Haram. la terpesona menyaksikan ribuan orang yang bergerak mengelilingi Ka’bah, mendengarkan gemuruh tahlil, tasbih, dan takbir mereka. Ia membayangkan betapa beruntungnya orang-orang itu. Mereka tentu akan mendapat pahala dan ampunan Tuhan.
Imam Ja’far Al-Shodiq ra, Ulama besar dari keturunan cucu Rosulullooh shollolloohu alaihi wasallam, menyuruh Abu Bashir menutup matanya.
Imam Ja’far mengusap wajahnya. Ketika ia membuka lagi matanya, ia terkejut. Di sekitar Ka’bah ia melihat banyak sekali binatang dalam berbagai jenisnya- mendengus, melolong, mengaum.
Imam Ja’far berkata:
“Betapa banyaknya lolongan atau teriakan; betapa sedikitnya yang haji.
Apa yang di saksikan Abu Bashir pada kali yang pertama (penglihatan pertama) adalah bentuk tubuh-tubuh manusia.
Apa yang di lihat kedua kalinya (penglihatan kedua) adalah bentuk-bentuk Ruh atau bentuk jiwa (an nafs) mereka.
Seperti tubuh, Ruh mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum.
Rupa Ruh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. berkena’an dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang.
Ruh dapat betul-betul berupa binatang babi atau kera.
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
“Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allooh, yaitu orang-orang yang di kutuki dan di murkai Allooh, di antara mereka ada yang di jadikan kera dan babi dan penyembah Thogut?
Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”.
(QS Al-Maidah [5]: 60)
Al-Ghozali menulis: “Al-Khuluq dan Al-Kholq kedua-duanya di gunakan.
Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan bathin.
Yang di maksud dengan kholq adalah bentuk lahir
Yang di maksud dengan khuluq adalah bentuk bathin.
Karena manusia terdiri dari tubuh yang dapat di lihat dengan mata lahir dan Ruh yang dapat di lihat dengan mata bathin.
Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah.
Ruh yang dapat di lihat dengan mata bathin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang dapat di lihat dengan mata lahir.
Karena itulah Allooh memuliakan Ruh dengan menisbahkan kepada diri-Nya.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat
“Aku menjadikan manusia dan’ tanah.
Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya Ruhku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.
(QS. Shood [38]:71-72).
Allooh menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan ruh dari Tuhan semesta alam.
(Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlaq.
Ruh kita menjadi indah dengan akhlaq yang baik dan menjadi buruk dengan akhlaq yang buruk.
Dalam teori akhlaq dari Al-Ghozali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki Ruh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki Ruh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai Ruh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Oleh karenanya untuk memperindah bentuk Ruh kita, kita harus melatihkan akhlaq yang baik.
Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlaq kita.
Kita dapat simpulkan dari do’a ketika bercermin:
“Alloohumma kama ahsanta kholqi fa hassin khuluqi.
(Ya Allooh, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku)
Setelah manusia wafat di tetapkanlah apa yang telah di capainya selama perjalanannya di dunia menjadi Ruh manusia beriman atau Ruh manusia durhaka
Kabar tentang Ruh manusia beriman
Lalu terdengarlah sebuah panggilan dari langit:
“Jika memang hamba-Ku ini benar, maka hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, berilah ia pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu yang menuju surga.
Kemudian Ruh orang yang beriman di kembalikan ke jasadnya beserta bau wamgi-wangiannya, lalu di luaskan quburannya sejauh mata memandang.
Selanjutnya datanglah seorang laki-laki tampan yang berpakaian bagus dan berbau harum. Ia berkata:
“Berbahagialah dengan segala yang membahagiakan Anda.
“Ini adalah hari kebahagia’an Anda yang telah Allooh janjikan.
Orang beriman tersebut bertanya:
“Siapakah engkau?
“Wajahmu tampan sekali.
Ia menjawab:
 “Aku adalah amal sholeh Anda.
Kabar tentang Ruh manusia durhaka
Setelah itu terdedengar sebuah pamggilan dari langit:
“Jika ia benar-benar berdusta, hamparkanlah untuknya sebuah hamparan yang terbuat dari api neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu yang menuju ke neraka.
Ketika pintu itu di buka, maka panas dan racunnya langsung menembus badannya dan quburannya pun menjadi semakin sempit dan menghimpit badannya sehingga tulang-tulangnya berserakan”.
Ia kemudian di datangi seorang laki-laki yang berwajah buruk, berpakaian buruk dan berbau busuk. Orang itu berkata kepadanya:
“Berbahagialah kamu dengan sesuatu yang membinasakanmu.
“Hari ini adalah hari kesengsaraanmu yang telah Allooh janjikan!
Orang yang mati durhaka itu kemudian bertanya:
“Siapakah engkau?
“Wajahmu sangat buruk.
Ia menjawab:
“Aku adalah amal burukmu”.
Imam Syafi’i ~ rohimahullooh mengatakan:
“Sesungguhnya saya memperhatikan anak Adam, setiap mereka itu di cintai, mereka terikat oleh cinta orang yang mencintainya, dan sebagian orang yang di cintainya itu di temani oleh kekasihnya sampai kepada masa sakit di ambang kematiannya.
Sebagian lagi di temani oleh sang kekasih sampai ke pintu qubur, kemudian semuanya kembali dan meninggalkannya sendirian,tidak seorang pun yang mendampinginya di alam qubur.
Maka aku pun berfikir dan berkata:
“Sebaik-baik orang yang di cintai seseorang adalah yang ikut menemaninya ke dalam qubur, mendampingi serta memberi manfa’at kepadanya di alam qubur.
Maka tidak satupun yang bisa melakukan itu selain amal sholeh, maka akhirnya aku menjadikan amal sholeh sebagai kekasih sejatiku, supaya nanti dia menjadi penerang di qubur saya kelak, mendampingi serta tidak meninggalkan saya sendirian”
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang di alami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Mekkah.
Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya,sebelum masuk Islaam ia di kenal dalam lingkaran pergaulan jet set.
Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya,mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan da’wah Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan Iiman dan kedamaian risalahnya,sehingga coba’an beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran,kehidupan glamour ia lepaskan,bahkan dialah yang terpilih sebagai juru da’wah kepada penduduk Madinah.
Di sisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab,setelah mengikuti kafilah da’wah Rosulullooh Shollolloohu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai Nabi palsu.
Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq.
Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Di sinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya,semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islaam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Di samping itu, di perlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islaam serta peningkatan pengamalannya.
Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini di tempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allooh Shubhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allooh Shubhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. maka Allooh mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwa’annya.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya.
(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allooh, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Allooh dan Rosul-Nya dan bermanfa’at bagi lingkungan sekitarnya.
Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.
Adalah benar bahwa Allooh tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang di lihat adalah hatinya, sebagaimana di sebutkan dalam satu hadits.
Tetapi ini di maksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan di terima Allooh manakala ada kesejajaran antara perilaku lahiriah dan bathiniah, di samping sesuai dengan tuntunan Din.
Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allooh,dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya.
Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allooh Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerja’an yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, di sana banyak hal yang harus di kerahkan dan di korbakan.
Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka di taburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rosulullooh Shoollolloohu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Di mana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islaam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan.
Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlaq Islami, meski tanpa pemerkosa’an dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allooh Shubhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia.
Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shollolloohu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acap kali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya,sehingga mereka merasa asing dalam keramaian.
Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup,bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis,sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islaam.
“Islaam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya.
“Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”.
(Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah di mana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa di anjurkan oleh Allooh agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allooh tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allooh benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhaq meraih panggilan kasih sayang –Nya.
Firman Allooh Ta’ala yang artinya:
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Robb-mu dengan hati yang puas dan di ridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.
(QS.Al Fajr [89] : 27-30)

       Walloohu A’lam.
          _______/|\______
          ¨¨¨¨¨¨¨˜°°˜¨¨¨¨¨¨