Adab dalam
Berdebat;
Dalam
kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih, Al-Khathiib Al-Baghdadiy rohimahullooh
mengangkat satu bahasan yang cukup menarik tentang adab dan etika dalam
berdebat,oleh karena itu, sangat penting kiranya jika penjelasan beliau ini di tuangkan
secara ringkas dalam Blog ini sehingga dapat memberikan manfa’at bagi setiap
Pembacanya;
Telah
berkata Al-Khothiib Al-Baghdadiy rohimahullooh :
ينبغي للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
).
).
ويُخْلِصُ النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق، وتثبيته دون المغالبة للخصم.
قال الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه.
ويبني أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين.
“Menjadi
satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwa’an kepada
Allooh Ta’ala dalam perdebatannya,sebagaimana firman Allooh Shubhaanahu (wa Ta’ala)
:
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allooh menurut kesanggupanmu”
[QS.
At-Taghaabun : 16].
Dan
juga firman-Nya :
“Sesungguhnya
Allooh beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”.
[QS. An-Nahl : 128].
Orang
yang berdebat harus mengikhlashkan Niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata
hanya mengharap wajah Allooh Ta’ala.
Kemudian
tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran
(al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.
Telah
berkata Asy-Syafi’iy :
“Aku
tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia di tetapkan
dan di tolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicara’anku tadi sebagai
petunjuk dan bimbingan Allooh kepadanya.
“Dan
aku tidaklah peduli – sa’at berbicara pada seseorang – apakah Allooh akan
memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain”.[1]
Dan
agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allooh dan
kepada orang yang di debatnya, tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya
seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus di tunaikan
bagi seluruh kaum muslimin”.
عن جرير بن عبد الله يقول : ((بايعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم على النَّصِيحةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ)).
عن زعفراني – يعني
: الحسن بن محمد بن الصباح – وأبي
الوليد بن أبي الجارود، قال أَحَدُهُمَا : سمعتُ محمد بن إدريس ٰلشافعي، وهو يحلفُ، ويقول : ((ما ناظرتُ أحدًا إلا على النصيحة)). وقال الآخرُ : سمعتُ الشافعي، قال : ((واللهِ، ما نَاظَرْتُ أحدًا فأحببتُ أنْ يخطئَ)).
Dari
Jarir bin ‘Abdillah ia berkata :
“Aku
berbaiat kepada Rosulullooh Shollolloohu ‘Alaihi wa Sallam untuk nasihat kepada
seluruh kaum Muslimin”.[2]
Dari
Za’faraaniy – yaitu Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabbaah – dan Abul-Waliid
bin Abil-Jaaruud, salah seorang di antara mereka berkata :
“Aku
telah mendengar Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’iy bersumpah, di mana ia berkata
:
“Tidaklah
aku mendebat seseorang kecuali dalam rangka nasihat”.
Dan
berkata yang lain berkata :
“Aku
telah mendengar Asy-Syafi’iy berkata :
“Demi
Allooh, tidaklah aku mendebat seseorang dengan berharap agar ia jatuh dalam
kesalahan”.[3]
ويستشعرُ في مجلسه الوقار، ويستعملُ الهدى، وحسن السمْتِ، وطول الصمت إلا عند الحاجة إلى كلام. وإن بدرت من خصْمَتهِ في جداله كلمةٌ كرهها، أغضى عليها، ولم يُجَازهِ بمثلها، فإن اللهَ تعَلى يقول : (ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)، وقال تعَلى : (وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا).
“Orang
yang berdebat itu juga haruslah mempunyai wibawa, menggunakan petunjuk,
berperilaku baik, dan tidak banyak bicara kecuali bila di perlukan.
Apabila
ia mendapatkan dalam perdebatannya itu kalimat yang tidak menyenangkan dari
lawan debatnya, sebaiknya di abaikan dan tidak di balas dengan kalimat yang
semisal.
Hal
itu di karenakan Allooh Ta’ala telah berfirman :
“Tolaklah
perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” .
[QS.
Al-Mu’minuun : 96]
Dan
juga berfirman :
“Dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik” .
[QS.
Al-Furqaan : 63]
عن ابن عباس أن عيينة بن حصن بن حذيفة قال لعمر : هي يا ابن الخطاب، فو اللهِ ما تعطينا الجزل، ولا تحكم بيننا بالعدل فغضب عمر حتى هم به. فقال له الحر بن قيس : يا أمير المؤمنين، إن الله تعالى قال لنبيه : (خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ) وإن هذا من الجاهلين، واللهِ ما جاوزها عمر حين تلاها عليه وكان وقّافًا عند كتاب الله.
Dari
Ibnu ‘Abbas rodliyalloohu ‘anhuma : Bahwasannya ‘Uyainah bin Hudzaifah pernah
berkata kepada ‘Umar :
“Wahai
Ibnul-Khothob, engkau tidak pernah memberi makanan dan tidak pula menghukumi
kami dengan ‘adil”.
Mendengar
hal itu, maka marahlah ‘Umar hingga ia ingin melakukan sesuatu kepadanya (untuk
menghukumnya).
Melihat
itu, Al-Hurr bin Qais berkata kepada ‘Umar :
“Wahai
Amirul-Mu’miniin, sesungguhnya Allooh Ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Jadilah
engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh’ .
[QS.
Al-A’raaf : 199].
Dan
orang ini termasuk orang-orang yang bodoh”.
Demi
Allooh, ‘Umar tidak jadi berbuat sesuatu kepadanya ketika membaca ayat
tersebut, dan berhenti semata-mata karena Kitabullooh.[4]
وينبغي أن لا يتكلم بحضرة من يشهد لخصمه بالزور، أو عند من إذا وُضِحَتْ لديه الحجة دفعها، ولم يتمكن من إقامتها، فإنه لا يقدرُ على نصرة الحق إلا مع الانصاف، وترك التعنّت والاجحاف.
ويكون كلامه يسيرًا جامعًا بليغًا، فإن التحفظَ من الزَّلَلِ مع الاقلال دون الاكثار، وفي الاكثار أيضًا ما يخفي الفائدة، ويُضيعُ المقصود، ويورثُ الحاضرين الملل.
ولا يرفع صوته في كلامه عاليًا، فيشقَّ حلقه ويحمي صدره ويقطعه، وذلك مِن دعاوي الغضب. ولا يخفي صوته إخفاء لا يسمعه [الحاضرون]، فلا يفيد شيئًا، بل يكون مقتصدًا بين ذلك.
“Orang
yang berdebat tidak sepantasnya berbicara dengan kata-kata dusta kepada lawan
debatnya atau kepada orang yang sangat defens bila kita sampaikan hujjah
kepadanya.
“Tidaklah
mungkin kebenaran dapat di tegakkan (dengan cara itu), karena kebenaran
tidaklah di raih melainkan dengan ke adilan dan meninggalkan ke dhaliman serta
sikap berlebihan.
Hendaklah
ia (orang yang berdebat) menjadikan perkata’annya mudah di pahami, ringkas, dan
jelas.
“Sesungguhnya
terjaganya dari kesalahan adalah dengan menyedikitkan perkata’an, bukan
memperbanyaknya.
“Adapun
memperbanyak perkata’an dalam debat, itu hanya akan menyembunyikan faedah,
menghilangkan maksud, dan mewariskan rasa jemu bagi yang orang menyaksikannya.
Janganlah
ia meninggikan suaranya ketika berbicara hingga dapat mencederai tenggorokannya
dan memanaskan dadanya lalu terpancinglah emosinya.
“Namun
jangan pula ia merendahkan suaranya hingga tidak dapat terdengar oleh
orang-orang yang hadir dan tidak memberikan faedah sedikitpun.
“Yang
seharusnya di lakukan adalah sikap pertengahan antara kedua hal itu”.
ويجب عليه الاصلاح من منطقه، وتجنب اللحن في كلامه والافصاح عن بيانه، فإن ذلك عونٌ له في مناظرته. وينبغي له أن يواظب على مطالعة كتبه عند وحدته، ورياضة نفسه في خلوته، بذكر السؤال والجواب وحكاية الخطأ والصواب، لئلا ينحصر في مجالس النظر إذا رمقتْهُ أبصار من حضر.
ويكون نطقه بعلمٍ، وإنصاته بحلمٍ، ولا يعجل إلى جوابٍ، ولا يهجُمْ على سؤالٍ، ويحفظ لسانه من إطلاقه بما لا يعلمه، ومن مناظرته فيما لا يفهمه فإنه ربما أخرجه ذلك إلى الخجل والانقطاع، فكان فيه نقصه وسقوط منزلته عند من كان ينظر إليه بعين العلم والفضل، ويحزره بالمعرفة والعقل.
“Wajib
baginya untuk memperbaiki cara berpikir, menjauhi kesalahan dalam pengucapan,
dan berusaha memfasihkan dalam penjelasan.
“Semuanya
itu dapat menolongnya dalam ajang perdebatan yang ia lakukan.
“Hendaknya
ia juga tekun membaca kitab-kitab bermanfa’at yang ia miliki ketika sendiri,
latihan pendalaman soal-jawab, cerita yang salah dan yang benar; sehingga ia
tidak merasa gugup dalam perdebatan sa’at banyak mata yang hadir tertuju
kepadanya.
Jadikanlah
bicaranya dengan ilmu dan diamnya dengan kesabaran.
“Janganlah
terburu-buru untuk menjawab dan berambisi menyerang dengan pertanyaan. Juga,
menjaga lisan dari apa-apa yang tidak ia ketahui dan dari perdebatan yang tidak
ia pahami. Karena hal itu akan dapat menyebabkan rasa malu dan terhentinya
pembicara’an/perdebatan.
“Jika
terjadi demikian, maka akan nampaklah kekurangannya dan rendahnya kedudukannya
di mata orang yang melihatnya sebagai orang yang berilmu, berpengetahuan,
cerdas, dan mempunyai ke utama’an”.
[selesai
– teringkas dari kitab Al-Faqih wal-Mutafaqqih karya Al-Khathiib Al-Baghdadiy,
2/47-59, Baab Adabil-Jidaal, tahqiq : ‘Adil bin Yusuf Al-‘Azaaziy; Daar
Ibnil-Jauziy, Cet. 1, Thn. 1417 H — dan terinspirasi dari buku Aafaatul-‘Ilmi
karya Dr. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id Raslaan hafidhahullah].
[1]
Lihat : Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 91.
[2]
Sanadnya shohih; di riwayatkan oleh Al-Bukhari no. 58, 2714, 2715 dan Muslim
no. 56.
[3]
Aadaabusy-Syaafi’iy oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 92.
[4]
Di riwayatkan oleh Al-Bukhori no. 4642 dan 7286.
Catatan
: Riwayat ini merupakan riwayat pengganti dari apa yang tertera dalam kitab
Al-Faqih wal-Mutafaqqih, karena riwayat yang ada dalam kitab tersebut adalah
dho’if karena adanya perawi mubham yang menerima riwayat dari Az-Zuhriy
___/|\___
¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨
Walloohu A’lam.