Senin, 19 Agustus 2019

Kalimasada Bukanlah Kalimat Syahadat:

Kalimasada Bukan Kalimat Syahadat:
Wayang merupakan hasil karya seni budaya masyarakat Indonesia yang sudah di akui oleh UNESCO. Di dalamnya tersimpan banyak mutiara-mutiara kehidupan yang bisa di jadikan sebagai hiasan dalam peradaban budaya bangsa.Banyak ajaran-ajaran luhur yang dapat di jadikan sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia (pandam pandoming dumadi). Lebih-lebih bagi masyarakat Jawa sebagai pendukung budaya tersebut. Tak dapat di pungkiri bahwa sastra lakon yang menjadi sumber cerita dalam pementasan pewayangan banyak di ambil dari kisah-kisah kepahlawanan dalam epos Mahabharata dan Ramayana. Semua dalang yang ada di tanah Jawa ini tentu sepakat bahwa epos dalam Itihasa tersebut merupakan sumber utama dalam sastra lakon pewayangan.  Akan tetapi yang sangat di sayangkan adalah masih banyak terjadi pemutarbalikan fakta terhadap substansi ajaran yang ada dalam sastra lakon tersebut. Salah satunya adalah soal senjata jamus ‘Kalimasada’ milik Puntadewa atau Yudhistira yang di anggap sebagai ‘Kalimat Syahadat’.  Dalam banyak buku yang mengulas tentang pewayangan Jawa tidak sedikit para sarjana dan budayawan yang mengiyakan kalau kata ‘Kalimasada’ ini berasal dari kata ‘Kalimat Syahadat’ tanpa menelusuri asal katanya dan yang jelas tidak berdasar pertimbangan ilmiah. Dengan kata lain mereka hanya mélu grubyuk tanpa wruh ing rêmbug (hanya ikut-ikutan tanpa memahami permasalahan) seperti halnya peribahasa Jawa yang mengatakan ‘bêlo mélu sêton’. Padahal jika di pikir dengan akal orang waras, Puntadewa itu berasal dari tanah Bharata Warsa dan hidup di jaman Dwapara jauh sebelum agama Islaam (Kalimat Syahadat) muncul di permuka’an bumi.  Bagaimana mungkin Puntadewa menggunakan Kalimat Syahadat sebagai senjatanya,ini tentu akal-akalan (ma’af) orang yang ‘tidak waras’. Sebenarnya jika mau menengok kembali sumber-sumber sastra lakon tersebut masalah Kalimasada dan Kalimat Syahadat itu akan dapat terpecahkan.  Secara mitologis di sebutkan dalam Pustaka Raja Purwa, pusaka Jamus Kalimasada berasal dari cerita terbunuhnya Prabu Kalimantara oleh Rsi Satrukêm. Pada sa’at itu Bhatara Guru meminta bantuan Rsi Satrukêm untuk menumpas Prabu Kalimantara bersama para pembantunya yakni Sarotama, Ardadedali dan Garuda Banatara yang telah membuat gonjang ganjing kahyangan Jonggring Salaka.  Setelah kalah oleh Rsi Satrukêm Kalimantara dan para pembantunya tersebut berubah menjadi pusaka Jamus Kalimasada, panah sakti dan Payung Tunggulnaga.  Kemudian Rsi Satrukêm mengambil kesemua pusaka tersebut yang kemudian di wariskan kepada keturunannya (Pandawa dan Kurawa). Selain itu sumber sastra yang harus di jadikan pijakan utama tentulah Kakawin Bharatayuddha.  Dalam Pupuh 42 (dengan Wirama Mrêgangsa) pada bait ke-5 di sebutkan:ngka sri kr??a kumon ri dharmasuta pustaka lêpasakêna, èngêt ri wêkasan yudhi??ira sukan hati pinituturan, tan dwang sañjata pustaka kalima ho?adha rinêgêp ira, sampun siddha siniddhi kara dadi tomara mangarab-arab (Dalam ke ada’an demikian, maka Prabu Kresna menyarankan agar Prabhu Dharmawangsa melepaskan senjata pustaka.  Akhirnya Prabu Dharmawangsa teringat dan sangat gembira hati beliau di peringatkan.  Lalu beliau memegang senjata Pustaka Kalima Ho?adha.  Setelah sempurna di mantrai, berobahlah menjadi senjata tomara menyala berkobar-kobar). Kemudian pada bait ke-8 masih pada Pupuh yang sama di sebutkan:  “yékan sighra dinuk ring astra wara pustaka maya lumarap, mabhrapan ma?i héma ?a??a tumanêm ri ?a?a sangahulun, tan péndah kadi wangkawanginum i rah nrpati mamulukan, ndah saktinya tinut ri jiwa nira mantuk ing amara pada” (maka segera di serang dengan senjata pustaka yang sakti meluncur dengan cepatnya, senjata itu gemerlapan karena terbuat dari mas dan intan, menancap pada dada Prabu Salya.  Tak ubahnya seperti pelangi meminum darah Prabu Salya yang ibarat mata air dan karena kesaktian senjatanya di ikuti oleh jiwa beliau pulang ke Swargaloka). Petikan Kakawin Bharatayuddha di atas tentu merupakan dasar dan sekaligus alasan yang sangat jelas bahwa senjata sakti Kalimasada atau Kalima Ho?adha bukan berasal dari atau tidak sama dengan Kalimat Syahadat.  Jika ada yang tetap ingin menyamakan, maka jelas ia bukan termasuk orang yang ‘waras’. Dari petikan Kakawin Bharatayuddha di atas dapat di ketahui bahwa pusaka Jamus Kalimasada tersebut di gunakan oleh Yudhistira untuk membunuh Prabu Salya yang pada sa’at itu menggunakan Aji Candra Berawa atau Candra Bhairawa, sebuah ilmu yang dapat mengubah dirinya menjadi raksasa-raksasa yang jumlahnya tak terhingga. Namun dengan kesaktian Jamus Kalimasada raksasa-raksasa yang di ciptakan dari Aji Candra Berawa itu dapat di musnahkan dan Prabu Salya sendiri dapat di bunuh.  Dengan itu pula maka atman Prabu Salya dapat dengan mudah mencapai kaswargan atau moksa. Cerita tersebut mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran suci Weda yang di lambangkan dengan Pustaka Jamus Kalimasada dapat menghancurkan keangkaramurka’an yang di lambangkan dengan raksasa-raksasa cipta’an Aji Candra Berawa. Hal ini sebagaimana bunyi sêsanti masyarakat Jawa yang berbunyi, “sura sudira jayanikang rat swuh bra??a têkaping ulah dharmastuti (keangkaramurka’an di muka bumi ini akan lenyap oleh perbuatan yang berlandaskan Dharma)”. Secara leksikal Jamus Kalimasada berasal dari rangkaian kata jamus kali maha u?adha. Kata jamus berarti ‘hitam berkilau’.  Kata ini berkaitan dengan jamas atau keramas yang artinya ‘pembersihan’.  Mungkin yang di maksud adalah keramas terhadap rambut supaya kelihatan hitam berkilau.  Kata kali di artikan sebagai ‘jaman Kali’ atau ‘Dewi Kali’ atau ‘Saktinya Dewa Siwa’.  Kata maha artinya ‘besar’ atau ‘utama’. Dan kata u?adha atau o?adha berarti ‘obat’.  Dengan demikian rangkaian kata jamus kalimasada dapat di artikan ‘obat utama dari Dewi Kali yang dapat membersihkan manusia dari pengaruh buruk Kaliyuga’. U?adha dalam masyarakat Jawa biasanya menjadi siddhi atau mandi berkat japa mantra yang di berikan oleh pemberi obat tersebut (dukun).  Dalam agama Hindu, japa yoga di yakini merupakan sarana penyucian yang paling mujarab pada Kaliyuga.  Dengan japa yoga ini manusia akan senantiasa ingat kepada Tuhannya.  Ki Ranggawarsita pun membenarkannya dengan menyatakan ‘sakbêgja-bêgjané wong kang lali isih bêgja wong kang éling lan waspada (sebaik-baik orang yang lupa masih lebih baik orang yang selalu ingat dan waspada)’. Selain itu obat yang umum di gunakan sebagai sarana penyembuhan adalah air atau tirtha.  Dalam ajaran Hindu juga di kenal ada pañca tirtha, yakni lima (kalima) macam tirtha yang terdiri atas: kamandalu yang membangkitkan hasrat, sanjiwani yang memberikan hidup, ku??alini yang membangkitkan kesadaran, pawitra yang menyucikan dan amrta (Amarta juga merupakan nama Keraja’an Pandawa) yang memberikan keabadian. Dengan demikian obat mujarab di Jaman Kali yang berasal dari Maya (sakti) Dewa Siwa tersebut akan mampu memberikan dan membangkitkan hasrat, kehidupan, kesadaran, kesucian dan ke abadian.  Jika hal ini telah di miliki setiap umat manusia maka dunia akan ada dalam kesucian, kedamaian, ketenteraman, kesejahtera’an dan kesentosaan.Dan obat mujarab itu tiada lain adalah japa mantra melalui kirtanam (menyebutkan Nama Suci Tuhan secara berulang-ulang) yang di tujukan kepada i??a dewata (Dewa pujaan sesuai dengan kemantapan kita masing-masing). Senada dengan hal tersebut dalam buku “Sedjarah Wayang Purwa” yang pertama kali di terbitkan tahun 1949 oleh Balai Pustaka pada halaman 123 di sebutkan bahwa Kalimasada merupakan pusaka yang berupa pustaka (serat) yang di miliki oleh Puntadewa.Pusaka ini mampu menjauhkan orang dari semua musuh dan mara bahaya yang mengancam dirinya.  Dengan pusaka ini pula Amarta di bangun menjadi Indraprastha (bagaikan surga Indra yang ada di dunia) di mana pada babag janturan dalam pewayangan Jawa di sebutkan sebagai negara yang panjang (penuh dengan kata-kata bijak) punjung (berwibawa) pasir wukir (menjaga lautan dan pegunungan) gêmah ripah (banyak investor yang berdatangan dan orang asing yang mencari pekerjaan ke sini) loh (tanahnya subur) jinawi (murah sandang pangan atau stabilitas ekonomi) tata titi (birokrasi pemerintahan yang baik atau good governance) têntrêm karta tur raharja (masyarakatnya aman, tentram, adil, sejahtera dan jauh dari sengsara)  Walloohu A'lam.
 ___/|\___
¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨