Arti Manusia:
Man Usi A
“Man ‘Arofa Nafsahu, Faqod ‘Arofa
Robbahu
MAN ‘Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu.
“Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Robb-nya”.
Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rosulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh
jalan penyucian jiwa.
Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata
tersebut adalah sabda Rosulullooh SAW.
Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits.
Sebagian lagi mengatakan hadits itu dho’if, bahkan
palsu.
Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun
hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah
dari cicit Rosulullooh SAW, Ja’far as-Shodiq.
Rosulullooh SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut
kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut di riwayatkan oleh Imam Ja’far
as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a.
Lisan agung Rosulullooh SAW pernah menyampaikan
kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang di sebut Rosulullooh SAW sebagai “gerbang
dari ilmu-ilmu Rosulullooh SAW”.
Apa maksud presisi kalimat tersebut?
Seperti apa “mengenal diri” itu?
Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu
menjadi mengenal Robb?
Apakah diri ini adalah Robb?
Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud
Tuhan dan wujud manusia?
Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut.
“Man ‘arofa nafsahu”.
Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya.
Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif.
‘Arif akan jiwanya.
‘Arif kurang lebih bermakna “sangat
memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.
Sedangkan dalam “faqod arofa robbahu”, kata “faqod” berarti “maka
pastilah”, atau “sudah barang tentu”.
Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih
pasti derajatnya dari sekadar “akan”. “Faqod ‘arofa robbahu”,
berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Robb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif
tentang Robb-nya”, begitu kira-kira
maknanya.
Apa maksudnya?
Diri Kita yang Sejati:
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang
bisa di bedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi
kepribadian oleh para psikolog.
Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam
interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang
lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran,
norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing.
Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil
bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi
dan aspek psikis kita.
Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri
kita yang “jasadi”.
Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu.
Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang di maksud dan di panggil Allooh sebagai “diri”
pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs”
dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa)
yang di panggil dan di sumpah Allooh untuk
mempersaksikan bahwa Allooh adalah Robb-nya.
وَإِذْ
أَخَذَ
رَبُّكَ
مِن
بَنِي
آدَمَ
مِن
ظُهُورِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَىٰ
أَنفُسِهِمْ
أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ
ۖ
قَالُوا
بَلَىٰ
ۛ
شَهِدْنَا
ۛ
أَن
تَقُولُوا
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
إِنَّا
كُنَّا
عَنْ
هَـٰذَا
غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allooh mengambil kesaksian terhadap
jiwa-jiwa mereka:
"Bukankah Aku ini Robb-mu?"
Mereka menjawab:
"Betul, sungguh kami bersaksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak
ingat terhadap ini.
– Q.S. Al-A’roof [7]: 172
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam
semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan
alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua
gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan
mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami
agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami
secara mengakar hingga ke jiwa.
Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di
dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan
tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa
nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu.
Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”:
Hanya sekadar “hawa ke inginan” dari jiwa.
Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu,
karena ke inginan-ke inginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita,
sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah di bedakan dari kehendak jiwa.
Yang di maksud dan di panggil Allooh sebagai "diri"
pada manusia, sejatinya adalah yang Dia
sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an.
Nafs, dalam bahasa kita, adalah "jiwa".
Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri
kita masing-masing.
Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala
dinamika psikis maupun psikologisnya.
Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada
dalam diri kita masing-masing.
Jiwa, namun bukan sembarang jiwa, Jiwa yang di maksud
sebagai diri manusia yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi
hawa nafsunya, dari ikatan keduniawian, maupun dari daya-daya syahwati
jasadnya.
Nafs yang telah terbebas dari perbudakan
syahwat dan hawa nafsunya inilah yang di sebut “nafs yang tenang”.
Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an di
sebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”.
Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs
yang telah tenang inilah ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa
dirinya, untuk apa dia di ciptakan dan apa tugasnya—semua pengetahuan yang
pernah Allooh tanamkan kepadanya—pun akan terbuka kembali dan tampak
dengan jelas baginya.
‘Arofa Nafsahu.
Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri
kepada Allooh, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan
untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia.
Sedangkan diri kita yang jasad—termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis,
dan psikologisnya—sesungguhnya hanya kendara’an bagi sang jiwa untuk
melaksanakan perannya di alam fisik ini.
Diri kita yang ini usianya terbatas,kelak ia akan hancur
menjadi tanah.
Secerdas-cerdasnya dan se’indah-indahnya jasad seseorang,
pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan ke indahan se’ekor kuda jika
di banding kecerdasan dan ke indahan jiwa, sang pengendaranya.
Kecerdasan dan ke indahan jiwa sesungguhnya juta’an kali
lipat di banding jasadnya—jika saja jiwa berhasil membebaskan diri dari
perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu
ilahiah yang Allooh tanamkan dalam dadanya.
Nafs inilah yang harus kita kenali dengan
se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allooh menanam bibit
pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, untuk fungsi apa kita di
ciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana untuk menjalankan tugas
penciptaan itu.
Bukan di jasad, bukan di otak, tapi di tataran nafs.
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada
hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika di
banding kecerdasan dan ke indahan jiwa, sang pengendaranya.
Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan
membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat
jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita.
Dalam bahasa agama, langkah ini di sebut sebagai memulai
perjalanan thaubat—perjalanan kembali kepada Allooh Ta’ala.
Thaubat berasal dari kata “thaaba”, yang artinya Kembali.
Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian
besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya.
Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan
jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terqubur dalam dosa dan sifat-sifat
kejasadiahannya sendiri.
Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa
membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih
kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya.
Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan
mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana ke inginan syahwat, mana
bisikan setan maupun mana kehendak jiwa.
Semua terdengar sama saja di Hatinya.
Tujuan Pencipta’an Manusia:
Terkait dengan tujuan pencipta’an manusia, kita biasanya
selalu merujuk pada ayat berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia,
kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.
– Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56
Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya
hanya di terjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk
melakukan sholat, puasa, zakat, haji dan semacamnya.
Tujuan pencipta’an kita seakan-akan hanya untuk melakukan
ibadah ritual formal.
Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti
ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia di pahami hanya sebatas untuk
mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki
surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid,
kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi.
Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan
diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”.
Itulah tujuan pencipta’an kita: untuk melaksanakan
sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan
paling sederhana, bagi umat Rosulullooh Muhammad SAW adalah melakukan
apa saja yang di perintahkan dalam koridor syariat yang di bawa oleh Beliau.
Kita melakukan sholat, puasa, zakat dan semacamnya—kita
“beribadah”.
Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang di maksud “ya’bud”
(mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang di lakukan seorang ‘abid,
adalah melaksanakan perintah tuannya.
Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada
tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik
yang mampu di lakukannya.
Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya
yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa di
lakukannya atas nama tuannya.
Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan
sebuah pengabdian untuk tuannya.
‘Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Pencipta’an Diri
Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik,
sebuah peran yang harus di lakukannya atas nama Allooh, yang menjadi alasan
pencipta’annya.
Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia di
ciptakan.
Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang
pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik
dalam bidang tugasnya tersebut.
Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksana’an
pengabdian tersebut—akan Allooh mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., saya bertanya:
“Ya Rosulullooh, apa dasarnya amal
orang yang beramal?”
Rosulullooh SAW menjawab:
“Tiap-tiap diri di mudahkan mengerjakan sebagaimana dia
telah di ciptakan untuk (amal) itu.”
– H.R. Bukhori no. 2026
“…(Ya Rosulullooh) apakah gunanya amal
orang-orang yang beramal?”
Beliau SAW menjawab:
“Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia di
ciptakan, atau menurut apa yang di mudahkan kepadanya.”
– H.R. Bukhori no. 1777
Dan tempuhlah jalan Robb-mu yang telah di
mudahkan bagimu.
– Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”, sabda Rosulullooh SAW. Spesifik.
Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita
masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling
hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita di ciptakan.
Sebagai contoh, sholatnya se’ekor burung ada di dalam
bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan sholatnya se’ekor ikan ada di
dalam kondisi sa’at ia berenang di dalam air.
Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik,
jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita di ciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ
ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih
kepada Allooh siapa pun yang ada di petala langit
dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya.
Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara sholatnya dan cara
tasbih-nya masing-masing.
Dan Allooh Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka
kerjakan.
– Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Robb-nya: melaksanakan
pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan
untuk apa kita di ciptakan-Nya sejak awal.
Fungsi diri yang spesifik inilah yang di sebut dengan
“misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan
menggunakan kemampuan terbaik yang di milikinya—melaksanakan tujuan pencipta’annya
dengan segala perangkat yang telah di letakkan Allooh dalam
jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allooh Ta’ala.
Ia menyampaikan khazanah Robb-nya bagi alam
semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi
“perpanjangan tangan Allooh” untuk memakmurkan alam semestanya
sendiri.
Inilah makna sesungguhnya dari kata “kholifah”:
pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama
artinya dengan memahami alasan pencipta’an kita dan amal tertinggi kita: untuk
tugas dan peran apa kita di ciptakan.
‘Arif terhadap nafs sama dengan
memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna “Man ‘Arofa Nafsahu”:
Siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada
dasarnya sama artinya dengan “Siapa yang memahami tujuan pencipta’annya”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan
kemampuan terbaik yang di milikinya, melaksanakan tujuan pencipta’annya dengan
segala perangkat yang telah di letakkan Allooh
dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allooh Ta’ala.
Ada sebuah hadits yang di riwayatkan oleh At-Thobroni
tentang ke-’arif-an seorang Mu’min:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rosulullooh SAW sedang
berjalan-jalan.
Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama
Haritsah al-Anshari r.a.
Rosulullooh SAW bertanya:
“Bagaimana ke adaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab:
“Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min
haqqon)”.
Rosulullooh SAW menjawab:
“Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab
segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqotan).
Lalu apa hakikat [yang Allooh tampakkan sebagai bukti]
dari ke imananmu itu (fa ma haqiqotu imanika)?”
Jawabnya:
“Jiwa hamba sudah lepas dari dunia.
Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba
kehausan di siang hari (karena berpuasa).
Dan sekarang hamba melihat arsy Robb hamba dengan
nyata.
Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling
mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rosulullooh SAW :
“Engkau telah ‘arif (‘arofta), ya Haritsah.
Maka jagalah ke ada’anmu itu.”
– H. R. At-Thabrani
“Faqod ‘Arofa Robbahu”
Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs dengan ‘arif
akan Robb?
Makna “Robb” tidak otomatis sama
dengan kata “Allooh”.
Sedikit berbeda dengan makna Allooh sebagai “ilah” (sembahan, tempat
penghamba’an),
Makna Robb adalah pangkat,
peran Allooh Ta’ala dalam memelihara—menjaga, memberi
rizqi, melindungi, memakmurkan—seluruh semesta alam-alam.
Pendek kata, “Robb” adalah sebutan
bagi Allooh dalam fungsi rububiyah-Nya.
‘Arif akan Robb adalah ‘arif
akan peran Allooh Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada
makhluk.
Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan pencipta’an
dirinya,
Lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa di lakukannya
sebagai sebuah pengabdian kepada Allooh dan atas nama Allooh, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allooh dengan hal terbaik yang bisa ia
lakukan.
Dan barang siapa yang menolong Allooh, maka Allooh pun pasti akan menolongnya pula.
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
إِن
تَنصُرُوا
اللَّـهَ
يَنصُرْكُمْ
وَيُثَبِّتْ
أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allooh,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
– Q.S. Muhammad [47]: 7
Apa pertolongan Allooh yang terbesar pada
seorang hamba?
Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba
tanpa henti-hentinya, baik di minta ataupun tidak.
Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam
golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Robb-nya.
Merekalah Al-Muflihun.
– Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk
mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus,
Jalannya “orang-orang yang di beri nikmat”.
Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu di
minta dalam setiap raka’at sholatnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan:
“Tunjukilah kami ke Shiroth Al-Mustaqim, jalan mereka yang
kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat.
– Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7
Setelah si hamba kukuh menapaki shiroth Al-Mustaqim-nya,
maka barulah ia akan mengenal Robb-nya, karena
sebagaimana di nyatakan dalam Al-Qur’an,
إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Robb-ku di atas
Shirotim-Mustaqim.
– Q.S. Huud [11]: 56
Inilah makna kalimat Rosulullooh SAW :
“Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbahu
“Barang siapa yang berhasil memahami tujuan pencipta’annya
(yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allooh tetapkan di dalam shiroth
Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Robb-nya sejak di dunia
ini, karena Robb ada di atas Shiroth Al-Mustaqim).
“Uusikum wa iyyaya nafsi bi taqwallooh, wa qod faaza al
muttaqun…
“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak
manfa’atnya bagi orang lain.
Surat An-Naba Ayat 1 عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ Arab-Latin: 'amma yatasā`alụn
Terjemahan Makna Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) 1-3.
Tentang apa sebagian dari orang orang kafir quraisy bertanya kepada
sebagian lainnya?
Mereka saling bertanya tentang sebuah berita besar,yaitu Al-Qur’an yang agung yang
mengabarkan tentang kebangkitan yang di ragukan.
Yang di ragukan, bahkan di dustakan oleh orang orang kafir.
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
1.
Tentang apa orang-orang musyrik saling bertanya-tanya setelah Allooh mengutus Rosulullooh -ṣhollolloohu 'alaihi wa sallam- kepada mereka?
Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh
Dr. Sholih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
1.
عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ (Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?)
Setelah Rosulullooh di utus kemudian mengabarkan kepada kaumnya tentang keesaan Allooh, kebangkitan setelah
mati, dan membacakan kepada mereka Al-Qur’an, mereka kemudian saling bertanya satu sama lain:
“Apa yang terjadi dengan Muhammad?
Dan apa yang di kabarkannya itu?”
Maka Allooh menurunkan ayat ini. Zubdatut Tafsir Min Fathil Qodir / Syaikh Dr.
Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islaam Madinah
1.
Apa yang saling mereka pertanyakan?
Apa yang mereka pertanyakan itu memberi tekanan terhadap mereka.
Di riwayatkan dari Ibnu Jazir dan Ibnu Abu Hatim dari Hasan Al Bashri,
beliau berkata:
Ketika Nabi tengah di utus (masa kenabian), mereka –orang musyrik- saling bertanya-tanya.
Maka turunlah ayat:
“Apa yang saling mereka pertanyakan?”
Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili 1-3. Allooh memulai di awal-awal
surat ini dengan bantahan atas kaum musyrik di mana mereka mengingkari hari
kebangkitan;
Mereka orang-orang kafir ingkar ketika datang kepada mereka utusan Allooh (Rosulullooh) yang membawa Al Qur’an.
Di sebutkan bahwasanya mereka (kaum musyrikin) meragukan dan terkejut
dengan (kabar) tentang hari kebangkitan;
Maka jadilah mereka semua saling bertanya-tanya antara satu sama lain
di antara mereka berkena’an dengan urusan yang besar ini dan kabar yang sangat
penting ini, yang mereka dapat dari Allooh (melalui utusan-Nya).
Mereka berselisih satu sama lain dengan perselisihan yang amat;
Di antara mereka ada yang mendustakan Rosul dan hari kebangkitan
yang mereka berkata sebagaimana dalam surat Al An’am ayat ke 29 :
“Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita
sekali-sekali tidak akan di bangkitkan”,
Dan di antara mereka ada yang ragu-ragu sehingga mengatakan :
“Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain
hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya)”
{Al Jatsiyah 32}.
Dan di antara mereka ada yang bersikeras (menyombongkan diri) dengan
mengklaim bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka adalah perantara (antara
mereka dengan Allooh);
Di mana mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allooh.”
{Yunus 18}.
An-Nafahat Al-Makkiyah / Muhammad bin Sholih asy-Syawi Ayat 1 – 5
Maknanya, tentang apakah yang di tanyakan oleh orang-orang yang mendustakan
tanda-tanda kebesaran Allooh itu?
Selanjutnya Allooh menjelaskan apa yang mereka pertanyakan tersebut seraya berfirman:
“Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentangnya,”
Yakni, tentang berita besar yang mereka perdebatkan dan telah tersebar
di antara mereka tentangnya untuk mendustakan dan mengaggap mustahil.
Padahal itulah berita yang tidak perlu di ragukan dan di bimbangkan.
Tapi mereka yang mendustakan tidak percaya akan bertemu dengan Robb mereka meski seluruh
tanda tanda kebesaran Allooh datang pada mereka hingga mereka melihat siksa’an yang pedih.
Karena itu Allooh berfiirman:
“Sekali kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali kali
tidak; kelak mereka akan mengetahui,”
Yakni, mereka akan mengetahui bila siksa’an menimpa mereka yang dulu
mereka dustakan pada sa’at, “mereka di dorong ke neraka jahannam dengan sekuata
kuatnya.”
(Ath-Thur: 13)
Dan berkata pada mereka:
“Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya.”
(Ath-Thur: 14)
Tafsir as-Sa'di / Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di ( عَمَّ )
Kata ini berasal dari dua huruf : (عن ما ) , kemudian huruf (النون) di gabungkan ke huruf ( الميم ) dan akhirnya kedua huruf tersebut menjadi satu huruf yang bertasydid
(عَمَّ), dan huruf alif (الألف) di hapus dari ( ما ) dan menjadi ( عَمَّ).
Yang berarti tentang apakah mereka saling bertanya-tanya ( Orang-orang
kafir di antara mereka) dan jawabannya adalah : pada ayat kedua dari surat ini,
yaitu ( عَنِ النَّبإ العَظِيْمِ ) Tafsir Juz 'Amma / Prof. Dr. Sholih bin Fauzan al-Fauzan Tafsir
Basmalah:
Telah di sebutkan sebelumnya. { عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ } “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?”
(QS. An-Naba:1)
Maksudnya: Tentang apa yang di tanya-tanyakan oleh orang-orang yang
mendustakan Al-Qur’an dan berita lainnya Tafsir Juz 'Amma / Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
Yakni orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allooh seperti sebagian orang
Quraisy.
Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I — هداية الإنسان بتفسير القران Sa’at nabi Muhammad di utus, kaum kafir mekah bertanya-tanya tentang
diri Nabi, da’wah, dan ajarannya, salah satunya adalah perihal hari kebangkitan.
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya di antara mereka'
2.
Mereka bertanya-tanya tentang berita yang besar.
Itulah hari di bangkitkannya manusia dari qubur untuk mempertanggung
jawabkan perbuatan mereka di dunia.
Surah An-Naba’
an-Naba'
|
|
|
|
Informasi
|
|
Arti
|
Berita Besar
|
Nama lain
|
'Amma Yatasa'alun
(Tentang Apakah Mereka Saling Bertanya-Tanya)[1]
|
Klasifikasi
|
|
78
|
|
Statistik
|
|
2 ruku'
|
|
40 ayat
|
Surah An-Naba’ (Arab: النّبا, "Berita Besar") adalah surah ke-78 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 40 ayat.
Di namakan An Naba’ yang berarti berita besar di ambil
dari kata An Naba´ yang terdapat pada ayat 2 surat ini.
Di namai juga Amma yatasaa aluun di ambil dari perkata’an
Amma yatasaa aluun yang terdapat pada ayat 1 surat ini.
Dengan nama Allooh, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1.
Perkara apakah yang
mereka pertanyakan?
2.
Tentang sebuah
kabar yang menggemparkan,
3.
Suatu perkara yang
mereka perdebatkan.
4.
Jangan demikian;
kelak mereka mengetahui,
5.
Maka jangan
demikian; kelak mereka mengetahui.
6.
Bukankah Kami yang
telah menjadikan bumi terhampar?,
7.
serta gunung-gunung
sebagai pasak?,
8.
serta Kamilah yang
menjadikan kalian berpasang-pasangan,
9.
serta Kamilah yang
menjadikan tidur kalian sebagai istirahat,
10. serta Kamilah yang menjadikan masa malam sebagai penutup,
11. serta Kamilah yang menjadikan masa siang untuk menjalani hidup,
12. serta Kamilah yang mendirikan di atas kalian tujuh yang kukuh
13. serta Kamilah yang menempatkan pelita yang bersinar,
14. serta Kamilah yang mengirimkan dari awan, air yang melimpah,
15. kemudian Kamilah yang menghasilkan dengan itu, biji-bijian
maupun tanam-tanaman,
16. serta kebun-kebun yang lebat?
17. Sungguh Hari Keputusan merupakan suatu ketetapan,
18. sebuah Hari ketika sangkakala ditiup, lalu kalian datang
berkerumun,
19. serta disingkapkan langit, maka terdapat gerbang-gerbang,
20. serta gunung-gunung dilenyapkan seperti uap.
21. Sungguh Jahanam merupakan suatu kurungan
22. untuk orang-orang berdosa merupakan pemberhentian akhir,
23. mereka menghuni tempat itu hingga zaman-zaman berganti,
24. disana mereka tiada merasakan kesejukan serta tiada minuman,
25. selain air mendidih ataupun air yang membeku,
26. suatu balasan setimpal,
27. sungguh orang-orang tersebut tidak mempedulikan tentang
penghitungan,
28. serta orang-orang tersebut telah membantah ayat-ayat Kami
sebagai dusta belaka,
29. sementara segala sesuatu telah Kami cantumkan ke dalam suatu
Kitab,
30. "maka rasakanlah! dan Kami takkan menambah selain
Malapetaka untuk kalian!"
31. Sungguh golongan bertaqwa akan terpuaskan,
32. Taman-taman rindang beserta buah-buah anggur,
33. serta bidadari-bidadari yang sebaya,
34. serta gelas-gelas yang penuh;
35. mereka tiada mendengar ocehan serta tiada dusta,
36. suatu upah dari Tuhanmu, hadiah yang berkenan,
37. Tuhannya langit beserta bumi maupun segala yang berada di antara
keduanya; Yang Maha Pengasih, tiada yang bisa membela diri terhadap Dia,
38. Pada hari ketika roh-roh serta para malaikat berada pada
kedudukan tertentu, mereka tidak bicara, melainkan pada siapa yang diizinkan
Yang Maha Pengasih; sehingga ia berterus terang,
39. Itulah hari yang benar-benar nyata maka barang siapa yang
menghendaki, niscaya ia bertaubat pada Tuhannya,
40. Sungguh, telah Kami peringatkan kepada kalian mengenai
Malapetaka yang segera terlaksana, sebuah Hari ketika manusia menyaksikan
segala hal yang telah di perbuat oleh kedua tangannya; maka orang yang kafir
berkata:
"Seandainya dahulu aku hanyalah debu"
"Seandainya dahulu aku hanyalah debu"
______/|\______
¨¨¨¨¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨¨¨¨
SALAAM SILIWANGI