Kamis, 22 Agustus 2019

Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Robbahu



Arti Manusia:
Man Usi A
“Man ‘Arofa Nafsahu, Faqod ‘Arofa Robbahu

MAN ‘Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu. 
“Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Robb-nya”.
Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rosulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa.
Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rosulullooh SAW.
Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits.
Sebagian lagi mengatakan hadits itu dho’if, bahkan palsu.
Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah dari cicit Rosulullooh SAW, Ja’far as-Shodiq.
Rosulullooh SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut di riwayatkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a.
Lisan agung Rosulullooh SAW pernah menyampaikan kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang di sebut Rosulullooh SAW sebagai “gerbang dari ilmu-ilmu Rosulullooh SAW”.
Apa maksud presisi kalimat tersebut?
Seperti apa “mengenal diri” itu?
Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu menjadi mengenal Robb?
Apakah diri ini adalah Robb?
Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia?
Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut. 
“Man ‘arofa nafsahu”.
Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya.
Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif
‘Arif akan jiwanya. 
‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.
Sedangkan dalam faqod arofa robbahu”, kata faqodberarti “maka pastilah”, atau “sudah barang tentu”.
Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari sekadar “akan”. Faqod ‘arofa robbahu”, berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Robb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif tentang Robb-nya”, begitu kira-kira maknanya.
Apa maksudnya?
Diri Kita yang Sejati:
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa di bedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog.
Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing.
Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita.
Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”.
Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu.
Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang di maksud dan di panggil Allooh sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang di panggil dan di sumpah Allooh untuk mempersaksikan bahwa Allooh adalah Robb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allooh mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka:
"Bukankah Aku ini Robb-mu?"
Mereka menjawab:
"Betul, sungguh kami bersaksi".
 (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: 
"Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini.
 – Q.S. Al-A’roof [7]: 172
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa.
Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu.
Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”:
Hanya sekadar “hawa ke inginan” dari jiwa.
Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena ke inginan-ke inginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah di bedakan dari kehendak jiwa.
Yang di maksud dan di panggil Allooh sebagai "diri" pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an.
Nafs, dalam bahasa kita, adalah "jiwa".
Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing.
Jadi, diri kita yang sejati bukanlah jasad dengan segala dinamika psikis maupun psikologisnya.
Diri kita yang sejati adalah nafs (jiwa) yang ada dalam diri kita masing-masing.
Jiwa, namun bukan sembarang jiwa, Jiwa yang di maksud sebagai diri manusia yang sejati adalah jiwa yang sudah terbebas dari dominasi hawa nafsunya, dari ikatan keduniawian, maupun dari daya-daya syahwati jasadnya. 
Nafs yang telah terbebas dari perbudakan syahwat dan hawa nafsunya inilah yang di sebut “nafs yang tenang”.
Nafs yang tenang ini dalam Al-Qur’an di sebut sebagai “Nafs Al-Muthma’innah”.
Sebagaimana permukaan air yang telah tenang, pada kondisi nafs yang telah tenang inilah ia bisa melihat kembali pengetahuan tentang siapa dirinya, untuk apa dia di ciptakan dan apa tugasnya—semua pengetahuan yang pernah Allooh tanamkan kepadanya—pun akan terbuka kembali dan tampak dengan jelas baginya.
‘Arofa Nafsahu.
Nafs-lah yang dahulu mempersaksikan diri kepada Allooh, berbicara dengan-Nya dan menerima seluruh pengetahuan untuk menunjang tugas-tugas penciptaan yang harus kita laksanakan di dunia. Sedangkan diri kita yang jasad—termasuk dengan segala dinamika fisik, psikis, dan psikologisnya—sesungguhnya hanya kendara’an bagi sang jiwa untuk melaksanakan perannya di alam fisik ini.
Diri kita yang ini usianya terbatas,kelak ia akan hancur menjadi tanah.
Secerdas-cerdasnya dan se’indah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan ke indahan se’ekor kuda jika di banding kecerdasan dan ke indahan jiwa, sang pengendaranya.
Kecerdasan dan ke indahan jiwa sesungguhnya juta’an kali lipat di banding jasadnya—jika saja jiwa berhasil membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya, dan berhasil membuka kembali ilmu-ilmu ilahiah yang Allooh tanamkan dalam dadanya.
Nafs inilah yang harus kita kenali dengan se-’arif-’arif-nya, karena di tataran nafs-lah Allooh menanam bibit pengetahuan agung tentang siapa kita sebenarnya, untuk fungsi apa kita di ciptakan-Nya, dan bagaimana memperoleh segala prasarana untuk menjalankan tugas penciptaan itu.
Bukan di jasad, bukan di otak, tapi di tataran nafs.
Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika di banding kecerdasan dan ke indahan jiwa, sang pengendaranya.
Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita.
Dalam bahasa agama, langkah ini di sebut sebagai memulai perjalanan thaubat—perjalanan kembali kepada Allooh Ta’ala.
Thaubat berasal dari kata “thaaba”, yang artinya Kembali.
Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya.
Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terqubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri.
Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya.
Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana ke inginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa.
Semua terdengar sama saja di Hatinya.
Tujuan Pencipta’an Manusia:
Terkait dengan tujuan pencipta’an manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.
 – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56
Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya hanya di terjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan sholat, puasa, zakat, haji dan semacamnya.
Tujuan pencipta’an kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal.
Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia di pahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. 
Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”.
Itulah tujuan pencipta’an kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rosulullooh Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang di perintahkan dalam koridor syariat yang di bawa oleh Beliau.
Kita melakukan sholat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”.
Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang di maksud “ya’bud” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang di lakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya.
Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu di lakukannya.
Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa di lakukannya atas nama tuannya.
Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.
‘Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Pencipta’an Diri
Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus di lakukannya atas nama Allooh, yang menjadi alasan pencipta’annya.
Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia di ciptakan.
Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut.
Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksana’an pengabdian tersebut—akan Allooh mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., saya bertanya:
“Ya Rosulullooh, apa dasarnya amal orang yang beramal?”
Rosulullooh SAW menjawab:
“Tiap-tiap diri di mudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah di ciptakan untuk (amal) itu.”
 – H.R. Bukhori no. 2026
“…(Ya Rosulullooh) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?”
Beliau SAW menjawab:
“Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia di ciptakan, atau menurut apa yang di mudahkan kepadanya.”
 – H.R. Bukhori no. 1777
Dan tempuhlah jalan Robb-mu yang telah di mudahkan bagimu.
– Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”, sabda Rosulullooh SAW. Spesifik.
Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita di ciptakan.
Sebagai contoh, sholatnya se’ekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan sholatnya se’ekor ikan ada di dalam kondisi sa’at ia berenang di dalam air.
Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita di ciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allooh siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya.
Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara sholatnya dan cara tasbih-nya masing-masing.
Dan Allooh Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.
– Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Robb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita di ciptakan-Nya sejak awal.
Fungsi diri yang spesifik inilah yang di sebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang di milikinya—melaksanakan tujuan pencipta’annya dengan segala perangkat yang telah di letakkan Allooh dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allooh Ta’ala.
Ia menyampaikan khazanah Robb-nya bagi alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allooh” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri.
Inilah makna sesungguhnya dari kata “kholifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan pencipta’an kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita di ciptakan. 
‘Arif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna Man ‘Arofa Nafsahu”:
Siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada dasarnya sama artinya dengan “Siapa yang memahami tujuan pencipta’annya”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang di milikinya, melaksanakan tujuan pencipta’annya dengan segala perangkat yang telah di letakkan Allooh dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allooh Ta’ala.
Ada sebuah hadits yang di riwayatkan oleh At-Thobroni tentang ke-’arif-an seorang Mu’min:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rosulullooh SAW sedang berjalan-jalan.
Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.
Rosulullooh SAW bertanya:
“Bagaimana ke adaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab:
“Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqon)”.
Rosulullooh SAW menjawab:
“Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqotan).
Lalu apa hakikat [yang Allooh tampakkan sebagai bukti] dari ke imananmu itu (fa ma haqiqotu imanika)?”
Jawabnya:
“Jiwa hamba sudah lepas dari dunia.
Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan di siang hari (karena berpuasa).
Dan sekarang hamba melihat arsy Robb hamba dengan nyata.
Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rosulullooh SAW :
“Engkau telah ‘arif (‘arofta), ya Haritsah.
Maka jagalah ke ada’anmu itu.”
– H. R. At-Thabrani

“Faqod ‘Arofa Robbahu”
Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs dengan ‘arif akan Robb?
Makna Robbtidak otomatis sama dengan kata “Allooh”.
Sedikit berbeda dengan makna Allooh sebagai ilah(sembahan, tempat penghamba’an),
Makna Robb adalah pangkat, peran Allooh Ta’ala dalam memelihara—menjaga, memberi rizqi, melindungi, memakmurkan—seluruh semesta alam-alam.
Pendek kata, “Robb” adalah sebutan bagi Allooh dalam fungsi rububiyah-Nya. 
‘Arif akan Robb adalah ‘arif akan peran Allooh Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada makhluk.
Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan pencipta’an dirinya,
Lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa di lakukannya sebagai sebuah pengabdian kepada Allooh dan atas nama Allooh, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allooh dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan.
Dan barang siapa yang menolong Allooh, maka Allooh pun pasti akan menolongnya pula.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُ‌وا اللَّـهَ يَنصُرْ‌كُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allooh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
– Q.S. Muhammad [47]: 7
Apa pertolongan Allooh yang terbesar pada seorang hamba?
Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba tanpa henti-hentinya, baik di minta ataupun tidak.
Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّ‌بِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Robb-nya.
Merekalah Al-Muflihun.
– Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus,
Jalannya “orang-orang yang di beri nikmat”.
Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu di minta dalam setiap raka’at sholatnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَ‌اطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَ‌اطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ‌ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan:
“Tunjukilah kami ke Shiroth Al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat.
– Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7
Setelah si hamba kukuh menapaki shiroth Al-Mustaqim-nya, maka barulah ia akan mengenal Robb-nya, karena sebagaimana di nyatakan dalam Al-Qur’an,
إِنَّ رَ‌بِّي عَلَىٰ صِرَ‌اطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Robb-ku di atas Shirotim-Mustaqim.
– Q.S. Huud [11]: 56
Inilah makna kalimat Rosulullooh SAW :
“Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbahu
“Barang siapa yang berhasil memahami tujuan pencipta’annya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allooh tetapkan di dalam shiroth Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Robb-nya sejak di dunia ini, karena Robb ada di atas Shiroth Al-Mustaqim).
“Uusikum wa iyyaya nafsi bi taqwallooh, wa qod faaza al muttaqun…
“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfa’atnya bagi orang lain.
Surat An-Naba Ayat 1 عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ Arab-Latin: 'amma yatasā`aln
Terjemahan Makna Bahasa Indonesia (Isi Kandungan) 1-3.
Tentang apa sebagian dari orang orang kafir quraisy bertanya kepada sebagian lainnya?
Mereka saling bertanya tentang sebuah berita besar,yaitu Al-Qur’an yang agung yang mengabarkan tentang kebangkitan yang di ragukan.
Yang di ragukan, bahkan di dustakan oleh orang orang kafir.
Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi Arabia
1.                 Tentang apa orang-orang musyrik saling bertanya-tanya setelah Allooh mengutus Rosulullooh -hollolloohu 'alaihi wa sallam- kepada mereka?
Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Sholih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram)
1.                 عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ (Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?)
Setelah Rosulullooh di utus kemudian mengabarkan kepada kaumnya tentang keesaan Allooh, kebangkitan setelah mati, dan membacakan kepada mereka Al-Qur’an, mereka kemudian saling bertanya satu sama lain:
“Apa yang terjadi dengan Muhammad?
Dan apa yang di kabarkannya itu?”
Maka Allooh menurunkan ayat ini. Zubdatut Tafsir Min Fathil Qodir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islaam Madinah
1.                 Apa yang saling mereka pertanyakan?
Apa yang mereka pertanyakan itu memberi tekanan terhadap mereka.
Di riwayatkan dari Ibnu Jazir dan Ibnu Abu Hatim dari Hasan Al Bashri, beliau berkata:
Ketika Nabi tengah di utus (masa kenabian), mereka –orang musyrik- saling bertanya-tanya.
Maka turunlah ayat:
“Apa yang saling mereka pertanyakan?”
Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili 1-3. Allooh memulai di awal-awal surat ini dengan bantahan atas kaum musyrik di mana mereka mengingkari hari kebangkitan;
Mereka orang-orang kafir ingkar ketika datang kepada mereka utusan Allooh (Rosulullooh) yang membawa Al Qur’an.
Di sebutkan bahwasanya mereka (kaum musyrikin) meragukan dan terkejut dengan (kabar) tentang hari kebangkitan;
Maka jadilah mereka semua saling bertanya-tanya antara satu sama lain di antara mereka berkena’an dengan urusan yang besar ini dan kabar yang sangat penting ini, yang mereka dapat dari Allooh (melalui utusan-Nya).
Mereka berselisih satu sama lain dengan perselisihan yang amat;
Di antara mereka ada yang mendustakan Rosul dan hari kebangkitan yang mereka berkata sebagaimana dalam surat Al An’am ayat ke 29 :
“Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan di bangkitkan”,
Dan di antara mereka ada yang ragu-ragu sehingga mengatakan :
“Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya)”
{Al Jatsiyah 32}.
Dan di antara mereka ada yang bersikeras (menyombongkan diri) dengan mengklaim bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka adalah perantara (antara mereka dengan Allooh);
Di mana mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allooh.”
{Yunus 18}.
An-Nafahat Al-Makkiyah / Muhammad bin Sholih asy-Syawi Ayat 1 – 5 Maknanya, tentang apakah yang di tanyakan oleh orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kebesaran Allooh itu?
Selanjutnya Allooh menjelaskan apa yang mereka pertanyakan tersebut seraya berfirman:
“Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentangnya,”
Yakni, tentang berita besar yang mereka perdebatkan dan telah tersebar di antara mereka tentangnya untuk mendustakan dan mengaggap mustahil.
Padahal itulah berita yang tidak perlu di ragukan dan di bimbangkan.
Tapi mereka yang mendustakan tidak percaya akan bertemu dengan Robb mereka meski seluruh tanda tanda kebesaran Allooh datang pada mereka hingga mereka melihat siksa’an yang pedih.
Karena itu Allooh berfiirman:
“Sekali kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali kali tidak; kelak mereka akan mengetahui,”
Yakni, mereka akan mengetahui bila siksa’an menimpa mereka yang dulu mereka dustakan pada sa’at, “mereka di dorong ke neraka jahannam dengan sekuata kuatnya.”
(Ath-Thur: 13)
Dan berkata pada mereka:
“Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya.”
(Ath-Thur: 14)
Tafsir as-Sa'di / Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di ( عَمَّ )
Kata ini berasal dari dua huruf : (عن ما ) , kemudian huruf (النون) di gabungkan ke huruf ( الميم ) dan akhirnya kedua huruf tersebut menjadi satu huruf yang bertasydid (عَمَّ), dan huruf alif (الألف) di hapus dari ( ما ) dan menjadi ( عَمَّ).
Yang berarti tentang apakah mereka saling bertanya-tanya ( Orang-orang kafir di antara mereka) dan jawabannya adalah : pada ayat kedua dari surat ini, yaitu  ( عَنِ النَّبإ العَظِيْمِ ) Tafsir Juz 'Amma / Prof. Dr. Sholih bin Fauzan al-Fauzan Tafsir Basmalah:
Telah di sebutkan sebelumnya. { عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ } “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?”
(QS. An-Naba:1)
Maksudnya: Tentang apa yang di tanya-tanyakan oleh orang-orang yang mendustakan Al-Qur’an dan berita lainnya Tafsir Juz 'Amma / Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Yakni orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allooh seperti sebagian orang Quraisy.
Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I — هداية الإنسان بتفسير القران Sa’at nabi Muhammad di utus, kaum kafir mekah bertanya-tanya tentang diri Nabi, da’wah, dan ajarannya, salah satunya adalah perihal hari kebangkitan.
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya di antara mereka'
2.                 Mereka bertanya-tanya tentang berita yang besar.
Itulah hari di bangkitkannya manusia dari qubur untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka di dunia.

Surah An-Naba’

an-Naba' 

Informasi
Arti
Berita Besar
Nama lain
'Amma Yatasa'alun 
(Tentang Apakah Mereka Saling Bertanya-Tanya)[1]
Klasifikasi
78
Statistik
2 ruku'
40 ayat
Surah An-Naba’ (Arab: النّبا, "Berita Besar") adalah surah ke-78 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 40 ayat.
Di namakan An Naba’ yang berarti berita besar di ambil dari kata An Naba´ yang terdapat pada ayat 2 surat ini.
Di namai juga Amma yatasaa aluun di ambil dari perkata’an Amma yatasaa aluun yang terdapat pada ayat 1 surat ini.

Dengan nama Allooh, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1.   Perkara apakah yang mereka pertanyakan?
2.   Tentang sebuah kabar yang menggemparkan,
3.   Suatu perkara yang mereka perdebatkan.
4.   Jangan demikian; kelak mereka mengetahui,
5.   Maka jangan demikian; kelak mereka mengetahui.
6.   Bukankah Kami yang telah menjadikan bumi terhampar?,
7.   serta gunung-gunung sebagai pasak?,
8.   serta Kamilah yang menjadikan kalian berpasang-pasangan,
9.   serta Kamilah yang menjadikan tidur kalian sebagai istirahat,
10. serta Kamilah yang menjadikan masa malam sebagai penutup,
11. serta Kamilah yang menjadikan masa siang untuk menjalani hidup,
12. serta Kamilah yang mendirikan di atas kalian tujuh yang kukuh
13. serta Kamilah yang menempatkan pelita yang bersinar,
14. serta Kamilah yang mengirimkan dari awan, air yang melimpah,
15. kemudian Kamilah yang menghasilkan dengan itu, biji-bijian maupun tanam-tanaman,
16. serta kebun-kebun yang lebat?
17. Sungguh Hari Keputusan merupakan suatu ketetapan,
18. sebuah Hari ketika sangkakala ditiup, lalu kalian datang berkerumun,
19. serta disingkapkan langit, maka terdapat gerbang-gerbang,
20. serta gunung-gunung dilenyapkan seperti uap.
21. Sungguh Jahanam merupakan suatu kurungan
22. untuk orang-orang berdosa merupakan pemberhentian akhir,
23. mereka menghuni tempat itu hingga zaman-zaman berganti,
24. disana mereka tiada merasakan kesejukan serta tiada minuman,
25. selain air mendidih ataupun air yang membeku,
26. suatu balasan setimpal,
27. sungguh orang-orang tersebut tidak mempedulikan tentang penghitungan,
28. serta orang-orang tersebut telah membantah ayat-ayat Kami sebagai dusta belaka,
29. sementara segala sesuatu telah Kami cantumkan ke dalam suatu Kitab,
30. "maka rasakanlah! dan Kami takkan menambah selain Malapetaka untuk kalian!"
31. Sungguh golongan bertaqwa akan terpuaskan,
32. Taman-taman rindang beserta buah-buah anggur,
33. serta bidadari-bidadari yang sebaya,
34. serta gelas-gelas yang penuh;
35. mereka tiada mendengar ocehan serta tiada dusta,
36. suatu upah dari Tuhanmu, hadiah yang berkenan,
37. Tuhannya langit beserta bumi maupun segala yang berada di antara keduanya; Yang Maha Pengasih, tiada yang bisa membela diri terhadap Dia,
38. Pada hari ketika roh-roh serta para malaikat berada pada kedudukan tertentu, mereka tidak bicara, melainkan pada siapa yang diizinkan Yang Maha Pengasih; sehingga ia berterus terang,
39. Itulah hari yang benar-benar nyata maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia bertaubat pada Tuhannya,
40. Sungguh, telah Kami peringatkan kepada kalian mengenai Malapetaka yang segera terlaksana, sebuah Hari ketika manusia menyaksikan segala hal yang telah di perbuat oleh kedua tangannya; maka orang yang kafir berkata:
"Seandainya dahulu aku hanyalah debu"



     ______/|\______
      ¨¨¨¨¨¨¨˜°°˜¨¨¨¨¨¨
       SALAAM SILIWANGI