Senin, 19 Agustus 2019

Asal Muasal Dua Kalimah Syahadat Pasca Nabi

Asal Muasal Dua Kalimah Syahadat Pasca Nabi:
Judul tulisan ini di beri tanda tanya (walaupun sebenarnya tidak perlu) karena akan di persoalkan banyak kalangan. Bahkan, sebagian orang akan menyangkal keras klaim bahwa formula syahadat
“Asyhadu an-la ilaha illa allooh wa anna muhammadan rosulullooh”(Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allooh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allooh) di bakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Namun, klaim itulah yang akan di presentasikan dalam tulisan ini dan untuk mendukung klaim pembakuan kalimat syahadat pasca Nabi akan di ajukan dua bentuk argumentasi, yakni data historis yang dapat di pertang gungjawabkan secara akademis dan logika commonsense (akal-sehat).
Sebelum memulai, ada baiknya di katakan tentang hadits Jibril yang di muat dalam kitab-kitab hadits yang mendapat pengakuan luas.
Seperti di sebutkan dalam kitab Shohih Muslim, suatu sa'at baginda Nabi di datangi Malaikat Jibril sembari mengajukan pertanya'an apa Islaam...?
"Apa Iimaan...?
"Dan apa Ihsan...?
 Terhadap setiap pertanya'an tersebut, jawaban Nabi di benarkan oleh Jibril.
Misalnya, pertanya'an tentang apa itu Islaam...?
Nabi menjawab:
“Islaam ialah hendaknya kamu bersaksi tidak ada Tuhan selain Allooh dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan sholat, berpuasa, memberikan zakat dan menunaikan haji.
Di kalangan Muslim Sunni, jawaban Nabi tersebut kemudian di sepakati sebagai “rukun Islaam” yang lima.
Penisbatan rukun Islaam kepada baginda Nabi merupakan upaya normatif-teologis yang di yakini oleh kalangan Sunni.
Saya tak yakin tulisan pendek ini akan menggoyahkan keyakinan Anda.
Namun, jika berbicara sejarah, kita memang tak punya bukti dokumenter yang mendukung klaim teologis di atas selain hadits itu sendiri.
Fakta bahwa kalangan Syi’ah mempunyai rukun Islaam yang berbeda cukup untuk mengatakan tidak adanya kesepakatan mutlak.
Data Numismatik dan Arkeologis:
Dalam buku Kontroversi Islam Awal (2015), saya menyebutkan sepintas bahwa dua kalimat syahadat baru pertama di temukan dalam uang koin yang di keluarkan oleh Abdulmalik bin Marwan (berkuasa, 685-705), kholifah ke lima dari Bani Umayyah.
Penelitian tentang data-data numismatik (hal-hal berhubungan dengan koin) telah banyak di lakukan, salah satunya oleh sarjana Inggris Chase F Robinson.
Sejak menjabat sebagai kholifah, Abdulmalik mengeluarkan sejumlah koin yang berbeda.
Menarik di catat, koin-koin yang di keluarkannya merefleksikan kristalisasi Islaam sebagai agama secara bertahap.
Di awal masa pemerintahannya, Abdulmalik mengeluarkan koin yang menyerupai mata uang Persia dengan gambar seseorang seperti Raja Khasru di bagian tengah koin.
Dalam koin lain terdapat gambar menyerupai salib.
Hal itu bisa dtafsirkan bahwa Abdulmalik masih bereksperimen dengan desain koin.
Berdasar data historis ini sebagian sejarawan mencoba merekonstruksi narasi kemunculan Islaam,tidak mengagetkan jika mereka berkesimpulan bahwa sebelum masa Abdul malik Islaam belum menjadi agama yang distingtif dari agama-agama lain.
Dan baru pada masa-masa akhir pemerintahannya, Kholifah Abdul malik mengeluarkan koin dengan dua kalimat syahadat di tulis di bagian pinggirnya.
Itulah dokumen paling awal yang kita punya yang mencakup dua kalimat syahadat.
Hal itu tidak berarti kalimat “Laa ilaha illa allooh” atau “Muhammad rosulullooh” tidak pernah ada sebelumnya.
Kalimat “Laa ilaha illa allooh” merupkan kredo agama-agama monoteis sebelum Islaam.
Ini sudah di buktikan oleh penelitian yang tak di ragukan.
Kemiripan kalimat Tauhid “Laa ilaha illa allooh” dengan kredo kaum Samaritan telah banyak di diskusikan para ahli.
Formula ke Iimanan Samaritan di maksud ialah “lyt ‘lh ‘l’ ‘hd” (baca: lit eloe illa ahad), yang berarti “tidak ada Tuhan selain Yang Satu”.
Pengguna'an kata ahad dalam ekspresi Tauhid kaum Samaritan ada kesama'an dengan ayat pertama surat al-Ikhlash:
“Qul huwa alloohu ahad”
(Katakan, Dia adalah Allooh yang Satu)
.
Kredo keagamaan kaum Samaritan dan kalimat Tauhid kaum Muslim dapat di lacak lebih jauh pada formula Alkitab:
“Sy’ma Yisra’el, YHWH ‘eloheinu, YHWH ‘eḼad” (Dengar, wahai Isra’il, Yahweh adalah Tuhan kami, Tuhan yang Satu).
Lihat penggunakan kata “ahad” dalam Taurat ini, demikian juga dalam kredo kaum Samarintan dan al-Qur’an sendiri.
Penelitian arkeologi yang di lakukan oleh Yehuda Nevo juga membuktikan kredo ke agama'an “Tidak ada Tuhan selain Allooh atau Yang Satu” di temukan di sejumlah lokasi di sekitar Palestina dan Suriah,batu prasasti dengan tulisan kredo keagamaan tersebut dapat di lacak jauh sebelum kedatangan Islaam.
Yang menjadikan kalimat Tauhid tersebut khas Islaam karena di gabungkan dengan keyakinan pada keNabian Muhammad, yang sangat mungkin di formulasikan setelah wafatnya Nabi, sebagaimana terbukti dari koin Kholifah Abdulmalik.
Di dinding bangunan Batu Shakhrah (Dome of the Rock), yang juga di bangun atas inisiatif Abdul malik, terdapat kalimat pengakuan kerasulan Muhammad, “muhammadun ‘abduhu wa rosuluhu” (Muhammad adalah hamba-Nya dan rosul-Nya), tapi belum di gabungkan dengan kalimat Tauhid.
Argumen Commonsense:
Sampai sa'at ini kita tak punya bukti historis lain yang menunjukkan bahwa kalimat syahadat tersebut di formulasikan dan di gunakan pada zaman Nabi.
Ke esaan Allooh dan kerosulan Muhammad dapat di temukan dalam al-Qur’an, tapi tak pernah di gabung dalam satu formula sebagai kredo ke agama'an para pengikutnya.
Demikian juga dalam dokumen paling awal yang sampai kepada kita sekarang, yakni yang di kenal dengan “Mitsaq al-madinah” atau Piagam Madinah.
Walaupun sejumlah sejarawan mengekspresikan skeptisisme terhadap historitas dokumen itu, barangkali kontennya memang berasal dari zaman Nabi.
Menarik di catat, dokumen Piagam Madinah tidak memuat kredo ke agama'an yang sangat esensial bagi kaum Muslim.
Sebelum ada bukti sebaliknya, data-data historis menunjukkan gabungan dua kalimat syahadat itu terjadi setelah meninggalnya Nabi.
Di luar bukti-bukti historis di atas, kita juga dapat ajukan argumen yang berpijak pada akal-sehat (commonsense).
Maksudnya, kita tak perlu rumit menelusuri bukti sejarah, tapi cukup menggunakan akal-sehat untuk membenarkan atau menolak.
Tak ada keraguan bahwa kalimat syahadat (dan rukun Islaam secara umum) merupakan hal fundamental dalam agama.
Seorang yang masuk Islam harus menyatakan konfesi keimanan (syahadat) itu.
Jika formula syahadat dan rukun Islaam sudah di ajarkan oleh Nabi, sudah pasti semua komunitas Muslim mengetahuinya.
Kenyata'an bahwa ternyata tidak ada kesepakatan di kalangan kelompok-kelompok Muslim mengindikasikan kredo ke agama'an tersebut kemungkinan besar memang muncul setelah periode Nabi.
Kaum Khawarij, misalnya, menambah jihad sebagai rukun Islaam.
Padahal, kita tahu kelompok ini paling keras dalam mengamalkan ajaran agama secara saklek.
Kaum Syi’ah bukan hanya memiliki rukun Islaam-nya sendiri, juga formula kalimat syahadat-nya berbeda dari kalangan Sunni.
Dalam konfesi ke imanan Syi’ah, selain dua kalimat syahadat yang di kenal dalam Sunni juga terdapat kalimat ketiga.
Yakni, “Wa-asyhadu anna ‘aliyan waliyullooh” (dan saya bersaksi bahwa Ali adalah wali Allooh).
Kata “wali Allooh” di sini di pahami bukan dalam pengertian mistikal (seperti dalam tradisi Sunni), melainkan pewaris Nabi yang penentuan kewaliannya di tunjuk oleh Allooh dan Nabi.
Sa'at ini tiga kalimat syahadat Syi’ah itu di lantunkan oleh para muadzin sebagai panggilan sholat.
Namun demikian, berbagai literatur Syi’ah dari abad ke lima hijriyah dan sebelumnya tidak menyebut secara pasti kapan formula kredo Syi’ah tersebut bermula.
Dalam empat buku fikih Syi’ah yang di akui luas (yakni, Kitab al-kafi, Tahdzib al-ahkam, al-Istabsar, dan Man la yahdhuruhu al-faqih), adzan Syi’ah tidak mencakup kalimat syahadat terakhir yang menegaskan kewalian Ali.
Bahkan, kitab terakhir melarang pengguna'annya.
Ibnu Babawaih (w. 381), penulis kitab Man la yahdhuruhu al-faqih, menyebut berbagai versi adzan dan dia menolak keras menambah kewalian Ali dalam adzan Syi’ah.
Jadi, kenyata'an bahwa kaum Syi’ah sekarang menyepakati adzan dengan tiga kalimat syahadat tidak berarti formula tersebut telah muncul sejak awal.
Hal yang sama bisa di katakan terhadap formula syahadat Sunni: kesepakatan kaum Sunni tentang dua kalimat syahadat tidak berarti itu berasal dari Nabi sendiri.
Dengan dua argumen historis dan commonsense di atas, kita sulit mempertahankan klaim bahwa kredo ke agama'an paling sentral dalam Islaam itu berasal dari zaman Nabi.
Hal itu juga berarti Islaam bukanlah sebuah pengecualian,sebab semua konfesi ke Iimanan (syahadat) dalam setiap agama di dunia memang di formulasikan setelah para pendirinya tiada.
Walloohu A'lam.
___/|\___
¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨