Senin, 02 September 2019

Alkisah Rabi'ah Al_Adawiyah




                    °˜¨¨¨AL_KISAH¨¨¨˜°
°˜¨¨¨RABI’AH AL_ADAWIYAH¨¨¨˜°
°˜¨¨¨Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya,sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata:
 “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal.
°˜¨¨¨ “Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.
°˜¨¨¨Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah,makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi di makan,ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih,sSambil tersenyum, si ayah lalu berkata:
°˜¨¨¨ “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?
°˜¨¨¨Rabi’ah menjawab:
°˜¨¨¨ “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.
°˜¨¨¨Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya di dengarnya di majelis-majelis yang di hadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh,tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi .
(Abdul Mu’in Qandil).
°˜¨¨¨Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemulia’an akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi.
°˜¨¨¨Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries,sejarah hidupnya banyak di ungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi.
°˜¨¨¨Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqom) atau tingkatan yang di lalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi).
°˜¨¨¨Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M.
°˜¨¨¨Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
°˜¨¨¨Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullooh) yang di perkenalkan Rabi’ah ini telah banyak di bahas oleh berbagai kalangan,sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri,bBahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullooh tak lain adalah sebuah maqom (stasiun, atau jenjang yang harus di lalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridho Allooh dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqom.
°˜¨¨¨Hujjatul Islam Imam al-Ghozali misalnya mengatakan:
°˜¨¨¨ “Setelah Mahabbatullooh, tidak ada lagi maqom, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridho).
°˜¨¨¨Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqom itu, yakni Mahabbahtullooh,untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allooh, tampaknya agak sulit untuk di definisikan dengan kata-kata,dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat di elaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol.
°˜¨¨¨Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini,sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih di dasarkan kepada perbeda’an pengalaman spiritual yang di alami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan Ruhaninya kepada Sang Kholik.
°˜¨¨¨Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain.
°˜¨¨¨Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.
°˜¨¨¨Pertama, mencintai Allooh,dengan mencintai Allooh seseorang belum tentu selamat dari azab Allooh  atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allooh.
°˜¨¨¨Ke dua, mencintai apa-apa yang di cintai Allooh,Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran,manusia yang paling di Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
°˜¨¨¨Ke tiga, Cinta untuk Allooh dan kepada Allooh, Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang di cintai Allooh.
°˜¨¨¨Ke empat, Cinta bersama Allooh, Cinta jenis ini syirik,setiap orang mencintai sesuatu bersama Allooh dan bukan untuk Allooh, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allooh.
 °˜¨¨¨Inilah cinta orang-orang musyrik.
°˜¨¨¨Pokok ibadah, menurut Ibnu Qoyyim, adalah Cinta kepada Allooh, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allooh semata,jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allooh, tidak mencintai yang lain bersama’an mencintai-Nya, ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allooh dan berada di jalan Allah.
°˜¨¨¨Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allooh), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada °˜¨¨¨Allooh) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya.
°˜¨¨¨Sebuah sya’ir mengatakan:
°˜¨¨¨Aku cemburu kepada-Nya,
°˜¨¨¨Karena aku Cinta kepada-Nya,
°˜¨¨¨Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
°˜¨¨¨Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
°˜¨¨¨Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allooh adalah bathil,dan setiap amalan yang tidak di maksudkan karena Allooh adalah bathil pula,maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allooh dan Rosul-Nya
°˜¨¨¨Rabi’ah adalah anak ke empat dari empat saudara,semuanya perempuan.
°˜¨¨¨Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak ke empat dari ke empat saudaranya itu.
°˜¨¨¨Pernah suatu ketika ayahnya berdo’a agar ia di karuniai seorang anak laki-laki,ke inginan untuk memperoleh anak laki-laki ini di sebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderita’an.
°˜¨¨¨Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya sa’at itu masih terbilang kecil-kecil,apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderita’an ayahnya pun di rasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak di karuniai anak laki-laki, di harapkan beban penderita’an itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya,atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
°˜¨¨¨Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesholehan,begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allooh,sebaliknya, kepapa’an keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
°˜¨¨¨Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan.
°˜¨¨¨Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak di kutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain :
°˜¨¨¨J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini)
Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar)
°˜¨¨¨Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Sholihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Sholeh)
°˜¨¨¨Dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
°˜¨¨¨Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya di anggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan).
°˜¨¨¨Riwayat Aththar, yang di kutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
°˜¨¨¨Di ceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah,karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga,namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa.
°˜¨¨¨Sa’at Ismail tertidur untuk menunggui putri ke empatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi di datangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda:
°˜¨¨¨ “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan di anut oleh 7.000 umatku.
°˜¨¨¨Nabi kemudian bersabda lagi:
°˜¨¨¨ “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basroh, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bersholawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.
°˜¨¨¨Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis,tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basroh itu yang di titipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu.
°˜¨¨¨Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata:
°˜¨¨¨ “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya,tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderita’annya dengan janggutku.
°˜¨¨¨Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah,sa’at Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia,jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu.
°˜¨¨¨Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basroh di landa kelaparan hebat.
°˜¨¨¨Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderita’an itu sendirian.
°˜¨¨¨Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basroh, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk.
°˜¨¨¨Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki.
°˜¨¨¨Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar di perlakukan kurang manusiawi,siang malam tenaga Rabi’ah di peras tanpa mengenal istirahat.
°˜¨¨¨Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar,ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset.
°˜¨¨¨Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata:
°˜¨¨¨ “Ya Allooh, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak.
°˜¨¨¨ “Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridho-Mu.
°˜¨¨¨ “Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridho terhadapku atau tidak.
°˜¨¨¨Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan:
°˜¨¨¨ “Janganlah bersedih, sebab pada sa’at Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allooh di dalam surga.
°˜¨¨¨Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerja’annya sehari-hari,konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
°˜¨¨¨Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah.
°˜¨¨¨Dalam sholatnya Rabi’ah berdo’a:
°˜¨¨¨ “Ya Allooh, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui ke inginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu.
°˜¨¨¨ “Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allooh,karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.
 °˜¨¨¨Tatkala Rabi’ah masih khusyu’ beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya.
°˜¨¨¨Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (di ambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.
°˜¨¨¨Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan,ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula,sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing,tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak.
°˜¨¨¨Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
°˜¨¨¨Dalam pengembara’annya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
°˜¨¨¨Akhirnya, ia berangkat juga dengan di temani se’ekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya.
°˜¨¨¨Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan.
°˜¨¨¨Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya,namun, tawaran itu di tolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya,ia hanya percaya pada bantuan Allooh dan tidak percaya pada makhluk cipta’an-Nya.
°˜¨¨¨Orang-orang itu pun memahami ke inginan Rabi’ah,sehingga mereka meneruskan perjalanannya.
°˜¨¨¨Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdo’a:
°˜¨¨¨ “Ya Allooh, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini?
°˜¨¨¨ “Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.
°˜¨¨¨Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali, Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.
°˜¨¨¨Dalam cerita yang berbeda di sebutkan, sa’at Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdo’a:
°˜¨¨¨ “Ya Allooh, ya Tuhanku,hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi?
°˜¨¨¨ “Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku.
°˜¨¨¨ “Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.
°˜¨¨¨Begitu ia berdo’a sehingga muncul suara Allooh dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak:
 °˜¨¨¨ “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong,tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.
°˜¨¨¨Di ceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya.
°˜¨¨¨Rabi’ah lalu berkata:
 °˜¨¨¨ “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku?
°˜¨¨¨ “Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan:
°˜¨¨¨ “Barang siapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.
°˜¨¨¨ “Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembira’an apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini di hadapkan pada diriku?
°˜¨¨¨Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basroh dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allooh seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.
°˜¨¨¨Sebagaimana yang banyak di tulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah,sebab menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus di bebani oleh urusan-urusan keduniawian.
°˜¨¨¨Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya.
°˜¨¨¨Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara,ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basroh.
°˜¨¨¨Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah,tapi lamaran itu di tolaknya dengan mengatakan:
°˜¨¨¨ “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka.
°˜¨¨¨ “Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?
°˜¨¨¨Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basroh (w. 172 H).
°˜¨¨¨Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan,tetapi di jawab oleh Rabi’ah:
°˜¨¨¨”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allooh meskipun hanya untuk beberapa sa’at.
°˜¨¨¨Dalam kisah lain di sebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah,bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula,karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan:
°˜¨¨¨ “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.
°˜¨¨¨Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.
°˜¨¨¨Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri:
°˜¨¨¨ “Jika engkau dapat menjawab empat pertanya’anku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.
°˜¨¨¨Hasan al-Bashri berkata:
°˜¨¨¨ “Bertanyalah, dan jika Allooh mengizinkanku, aku akan menjawab pertanya’anmu.
°˜¨¨¨ “Pertanya’an pertama,” kata Rabi’ah:
°˜¨¨¨ “Apakah yang akan di katakan oleh Hakim dunia ini sa’at kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?
°˜¨¨¨Hasan menjawab:
 °˜¨¨¨ “Hanya Allooh Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.
°˜¨¨¨ “Pertanya’an ke dua, pada waqtu aku dalam qubur nanti, di sa’at Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?
°˜¨¨¨Hasan menjawab:
°˜¨¨¨ “Hanya Allooh Yang Maha Mengetahui.
°˜¨¨¨ “Pertanya’an ke tiga, pada sa’at manusia di kumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri.
°˜¨¨¨ “Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?
°˜¨¨¨Hasan kembali menjawab:
°˜¨¨¨ “Hanya Allooh Yang Maha Tahu.
°˜¨¨¨ “Pertanya’an terakhir, pada sa’at Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka.
°˜¨¨¨ “Di kelompok manakah aku akan berada?
°˜¨¨¨Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allooh saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi (gaib) itu.
°˜¨¨¨Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri:
°˜¨¨¨ “Aku telah mengajukan empat pertanya’an tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waqtuku dengannya?
°˜¨¨¨Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
°˜¨¨¨Damaiku, wahai saudara-saudaraku
°˜¨¨¨Dalam kesendirianku
°˜¨¨¨Dan kekasihku bila selamanya bersamaku
°˜¨¨¨Karena cintanya itu
°˜¨¨¨Tak ada duanya
°˜¨¨¨Dan cintanya itu mengujiku
°˜¨¨¨Di antara ke indahan yang fana ini
°˜¨¨¨Pada sa’at aku merenungi Ke indahan-Nya
°˜¨¨¨Dia-lah “mi’robku”, Dia-lah “kiblatku
°˜¨¨¨Jika aku mati karena cintaku
°˜¨¨¨Sebelum aku mendapatkan kepuasa’anku
°˜¨¨¨Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini
°˜¨¨¨Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah
°˜¨¨¨Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku
°˜¨¨¨Wahai Kebahagia’anku dan Hidupku selamanya
°˜¨¨¨Engkau-lah sumber hidupku
°˜¨¨¨Dan dari-Mu jua datang kebahagia’anku
°˜¨¨¨Telah kutanggalkan semua ke indahan fana ini dariku
°˜¨¨¨Harapku dapat menyatu dengan-Mu
°˜¨¨¨Karena itulah hidup ku tuju.
°˜¨¨¨Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai ke indahan dunia fana.
°˜¨¨¨Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allooh sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia.
°˜¨¨¨Meskipun demikian, di sebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan.
°˜¨¨¨Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat.
°˜¨¨¨Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad,bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.
°˜¨¨¨Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam.
°˜¨¨¨Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan:
°˜¨¨¨ “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru ku sadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.
°˜¨¨¨Dalam kisah lain, di ceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri.
°˜¨¨¨Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah.,ia menengadah ke atas dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu di hampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata:
°˜¨¨¨ “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
°˜¨¨¨Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.
°˜¨¨¨Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah di rasakan banyak memberi manfa’at.
°˜¨¨¨Hal ini di karenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka.
°˜¨¨¨Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja di buktikan dengan kisah sebagai berikut:
°˜¨¨¨Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendo’akan untuk dirinya,tapi permohonan itu di balas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati:
°˜¨¨¨ “Wahai, siapakah diriku ini?
°˜¨¨¨ “Turutlah perintah Allooh dan berdo’alah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua do’a bila engkau memohonnya.
°˜¨¨¨Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah
°˜¨¨¨Sebagaimana di ungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi.
°˜¨¨¨Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya,bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya.
°˜¨¨¨Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya,ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allooh.
°˜¨¨¨Tampaknya, ke inginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
°˜¨¨¨Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah:
°˜¨¨¨ “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.
°˜¨¨¨Tetapi ia menjawab:
°˜¨¨¨ “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?
°˜¨¨¨Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:
°˜¨¨¨ “Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini.
°˜¨¨¨ “Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu.
°˜¨¨¨ “Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.
°˜¨¨¨Rabi’ah kemudian mengatakan:
°˜¨¨¨ “Ketika mendengar peringatan itu, ku tanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun.
°˜¨¨¨ “Aku sholat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana:
°˜¨¨¨ “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.
°˜¨¨¨Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allooh agar di hindarkan dari ketergantungannya kepada manusia,namun, perjalanan zuhud yang di alami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja di lalui,di depan banyak tantangan dan coba’an yang harus ia hadapi.
°˜¨¨¨Kenyata’an-kenyata’an itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allooh semata,meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allooh, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya di anggap sebagai bagian dari kasih sayang Allooh kepada Rabi’ah.
°˜¨¨¨Dalam satu kisah misalnya di sebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya.
°˜¨¨¨Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah:
°˜¨¨¨ “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.
°˜¨¨¨Rabi’ah mengatakan:
°˜¨¨¨ “Wahai Malik, engkau salah besar.
°˜¨¨¨ “Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?
°˜¨¨¨Malik menjawab:
 °˜¨¨¨ “Ya, memang sama.
°˜¨¨¨Rabi’ah mengatakan:
°˜¨¨¨ “Apakah Allooh akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin di karenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya di karenakan kekaya’annya?
°˜¨¨¨Malik menyahut:
 °˜¨¨¨ “Tidak.
°˜¨¨¨Rabi’ah lalu kembali mengatakan:
°˜¨¨¨ “Karena Dia mengetahui ke ada’anku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya?
°˜¨¨¨ “Apa yang di inginkan-Nya, kita harus menerimanya.
°˜¨¨¨Sikap zuhud yang di tampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allooh ketimbang makhluk-makhluknya,karena itu hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya.
°˜¨¨¨Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh ke ikhlashan.
°˜¨¨¨Kebahagia’an dan penderita’an, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allooh dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rosulullooh:
°˜¨¨¨ “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allooh akan mencintaimu.
°˜¨¨¨ “Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.
°˜¨¨¨Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah:
°˜¨¨¨Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilooh) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi,bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqomat sufi tak ubahnya dengan maqom Ma’rifat, atau antara mahabbah dan Ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa di pisahkan.
°˜¨¨¨Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan:
°˜¨¨¨Cinta para sufi dan Ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allooh.
°˜¨¨¨Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
°˜¨¨¨Apa yang di ajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang di ajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khouf (takut) dan raja’ (harapan).
°˜¨¨¨Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allooh di dasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya.
°˜¨¨¨Ia mengabdi kepada Allooh bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allooh lebih karena Allooh semata.
°˜¨¨¨Sikap cinta kepada dan karena Allooh semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:
°˜¨¨¨Ya Allooh, jika aku menyembah-Mu,karena takut pada neraka
°˜¨¨¨Maka bakarlah aku di dalam neraka.
°˜¨¨¨Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga
°˜¨¨¨Campakkanlah aku dari dalam surga.
°˜¨¨¨Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau
°˜¨¨¨Janganlah Engkau enggan memperlihatkan ke indahan wajah-Mu yang Abadi kepadaku.
°˜¨¨¨Cinta Rabi’ah kepada Allooh sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allooh.
°˜¨¨¨Pernah suatu ketika Rabi’ah di Tanya:
°˜¨¨¨ “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rosul?
°˜¨¨¨Ia menjawab:
 °˜¨¨¨ “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.
Rabi’ah juga di tanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya?

°˜¨¨¨Ia menjawab:
°˜¨¨¨ “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.
°˜¨¨¨Allooh adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allooh saja yang ada dalam hatinya,ia mencintai Allooh dengan sesungguh hati dan ke imanan, karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.
°˜¨¨¨Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
°˜¨¨¨Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku
°˜¨¨¨Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk
°˜¨¨¨Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku
°˜¨¨¨Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
°˜¨¨¨Menurut kaum sufi, proses perjalanan Ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqom mahabbah dan Ma’rifat.
°˜¨¨¨Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqom tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain Thobat, Sabar dan Syukur.
°˜¨¨¨Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan,tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya se’akan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah di sibakkan.
°˜¨¨¨Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
°˜¨¨¨Hal ini sesuai dengan firman Allooh:
°˜¨¨¨ “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.
 (QS. 5: 59).
°˜¨¨¨Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdo’a dan bermunajat kepada Allooh.
°˜¨¨¨Bahkan dalam do’anya itu ia berharap agar tetap mencintai Allooh hingga Allooh memenuhi ruang hatinya.
°˜¨¨¨Do’anya:
°˜¨¨¨Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri
°˜¨¨¨Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,hingga aku merasa bahagia
°˜¨¨¨Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih
°˜¨¨¨Demi ke-Maha Kuasa’an-Mu, inilah yang akan kulakukan
°˜¨¨¨Selama Engkau beri aku hayat
°˜¨¨¨Sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu
°˜¨¨¨Aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,telah memenuhi hatiku.
°˜¨¨¨Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allooh,tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan ke abadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridho kepada hamba yang mencintai-Nya.
°˜¨¨¨Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridho kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya.
°˜¨¨¨Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak.
°˜¨¨¨Ia mengatakan:
°˜¨¨¨ “Dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu di rindukannya.
°˜¨¨¨Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:
°˜¨¨¨Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta
°˜¨¨¨Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak di cinta
°˜¨¨¨Dengan Cinta rindu
°˜¨¨¨Ku sibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu
°˜¨¨¨Dan bukan selain-Mu
°˜¨¨¨Sedangkan Cinta karena Engkau layak di cinta
°˜¨¨¨Di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu
°˜¨¨¨Agar aku dapat memandangmu
°˜¨¨¨Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu
°˜¨¨¨Segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
°˜¨¨¨Abu Tholib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan:
°˜¨¨¨Dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allooh dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain,ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa Rahmat dan kebaikan Allooh kepadanya.
°˜¨¨¨Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya.
°˜¨¨¨Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allooh, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai.
°˜¨¨¨Allooh telah memebaskan hatinya dari ke inginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk di anggap menatap Allooh pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia.
°˜¨¨¨Cintanya kepada Allooh tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.
°˜¨¨¨Al-Makki melanjutkan, bagi Allooh, sudah selayaknya Dia menampakkan Rahmat-Nya di muka bumi ini karena do’a-do’a Rabi’ah (yaitu pada sa’at ia melintasi Jalan itu) dan Rahmat Allooh itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada sa’at Tujuan akhir itu telah di capainya dan ia akan melihat wajah Allooh tanpa ada hijab, berhadap-hadapan).
°˜¨¨¨Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allooh sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) .
(Abu Tholib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
°˜¨¨¨Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya:
°˜¨¨¨Di kisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun.
°˜¨¨¨Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allooh sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izro’il menjemputnya.
°˜¨¨¨Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allooh selalu berada dekat dengannya.
°˜¨¨¨Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan:
°˜¨¨¨Kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya ke inginan lain kecuali hanya Ta’zhim (mengagungkan) kepada Allooh.
°˜¨¨¨Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk cipta’an-Nya.
°˜¨¨¨Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya.
°˜¨¨¨Rabi’ah lalu meminta kepada mereka:
°˜¨¨¨ “Bangkit dan keluarlah!
°˜¨¨¨ “Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allooh Yang Maha Agung!
°˜¨¨¨Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada sa’at mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara:
°˜¨¨¨ “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya.
°˜¨¨¨ “Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(QS. 89: 27-30).
°˜¨¨¨Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun,pada sa’at mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana.
°˜¨¨¨Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera di mandikan, di kafani, di sholatkan, dan kemudian di baringkan di tempat yang abadi.
°˜¨¨¨Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat di cintainya.
°˜¨¨¨Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderita’an, namun tak pernah bergantung kepada manusia.
°˜¨¨¨Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.
°˜¨¨¨Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya.
°˜¨¨¨Dia mengatakan kepada Rabi’ah:
°˜¨¨¨ “Ceritakanlah bagaimana ke ada’anmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?
°˜¨¨¨Rabi’ah menjawab:
°˜¨¨¨ “Mereka datang menghampiriku dan bertanya:
°˜¨¨¨ “Siapakah Tuhanmu?
°˜¨¨¨Aku katakan:
°˜¨¨¨ “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah cipta’an-Mu
°˜¨¨¨ “Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini.
°˜¨¨¨ “Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu.
°˜¨¨¨ “Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?
°˜¨¨¨Kini Rabi’ah telah tiada,Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya.
°˜¨¨¨Jasad kasarnya hilang di telan bumi, tetapi Ruh sucinya terbang bersama para sufi, para Wali, dan para pecinta Ilahi.
°˜¨¨¨¨¨˜°

            ___/|\___

            ¨¨¨˜°♥°˜¨¨¨
Walloohu Alam.